PENYESALAN DIBALIK SENJA
oleh: Sumiyatun
Ditengah-tengah
ribuan orang yang menatapnya penuh heran, perempuan itu berjalan lurus, tanpa
alaskaki, dengan selembar kertas yang masih erat digenggam oleh tangan
kanannya. Tak peduli miliaran pasang mata disekitarnya. Perempuan itu tampak
berjalan sempoyongan, entah sejak kapan air mata mulai membanjiri pipi
mulusnya. Dengan langkah pasti meski tanpa alas kaki perempuan muda itu menuju
salah satu kontrakan yang terletak di Jl. Simpang Lima kota Semarang. Begitu
sampai dimuka pintu kontrakan, dengan keras tangannya menggedor pintu.
Berkali-kali
ia menggedor pintu kontrakan namun tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa pintu
akan dibuka. Dari luar kontrakan itu tampak sepi seakan tak berpenghuni, tapi
perempuan itu tetap mengira bahwa orang yang dicarinya sedang ada di dalamnya.
Ia tahu bahwa laki-laki itu sedang bersembunyi dan sengaja tidak mahu
menemuinya. Dengan perasaan kecewa campur marah akhirnya perempuan cantik itu
membalikkan badannya meninggalkan kontrakan.
“AMIRA”
tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya. Perempuan yang ternyata bernama
Amira itu menoleh mencari asal suara.
“Desta…..??!!”
ujarnya kaget
“kamu
ngapain disini?” Tanya desta tak menghiraukan keterkejutan Amira
“aku?...
aku…. Aku….”
“Anton?”
Desta menebak
“Barusaja
dia pergi dengan Dessi, katanya sih mahu cari kado buat ulang tahun Desi esok
lusa”
“ulang
tahun? Dessi?” Amira tampak gugup
“iya
Dessi, tunangan Anton. Kamu belum tahu kalau Anton…………..”
Tak
ingin mendengar apa yang akan diucapkan Desta, Amira buru-buru berpaling dan
bergegas meninggalkannya. Ia tak ingin mendengar lebih banyak tentang hubungan
anton dan wanita yang bernama Dessi itu, yang bergelayut dalam pikirannya saat
ini hanyalah Anton, Dessi dan isi lembaran yang dipegangnya.
***
Pagi
ini Amira buru-buru ke kampus, ia berharap bisa menemui orang yang ia cari dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Hanya dengan sedikit taburan bedak dan
olesan lipstick tipis di bibirnya Amira tampak begitu anggun. Kulitnya yang
mulus dan rambutnya yang lurus tebal serta penampilannya yang bersih membuat
kecantikannya terlihat alami. Amira adalah salah satu mahasiswi aktif di
kampusnya, sejak pertama masuk kampus ia tidak pernah dekat dengan satupun
laki-laki, setiap didekati ia selalu mengelak, alasannya ia tidak mahu
kuliahnya terganggu. Entah kenapa sejak kenal dengan laki-laki yang bernama
Anton ia berubah drastis, ia mulai jarang menghadiri acara organisasi yang ia
ikuti di kampus, prinsip yang dulu ia pegang mati-matian “tidak ingin pacaran”
terbengkalai karena Anton, dan entah apa yang membuatnya begitu percaya bahwa Anton
adalah laki-laki yang baik, meski pada kenyataannya Anton telah menghancurkan
semua impiannya.
***
Di koridor kampus
“PLAAKK”
dengan keras Amira melayangkan tangannya ke pipi Anton. Wajahnya memerah,
amarahnya tak bisa ditahan lagi mendengar kata-kata Anton, karena bukan jawaban
itu yang Amira inginkan.
“kamu
pikir aku ini perempuan APA?” nada suara Amira mulai meninggi. Sakit, itulah
yang ia rasakan saat ini. Air mata yang ia tahan agar tidak keluar akhirnya
tumpah membanjiri pipinya.
“sudahlah
Amira, tidak perlu pura-pura menangis, sayang air mata buayamu keluar sia-sia”
ujar Antor
“jangan
harap dengan kamu menangis seperti ini, aku bisa iba sama kamu. Airmatamu tak
akan mengubah pikiranku untuk mengakui bahwa janin yang kamu kandung adalah
darah dagingku. Selama ini kamu pikir aku tidak tahu? Siapa saja laki-laki yang
kamu kencan.....”
“PLAAKK”
untuk yang kedua kalinya tamparan Amira mendarat di pipi Anton.
“jaga
mulutmu Anton, mana janjimu dulu akan menjagaku? Mana janjimu akan bertanggung
jawab atas perbuatanmu? MANA? JAWAB Anton.. JAWAB” nada suara Amira terdengar
getir. Kedua tangannya bertumpu pada dada Anton.
“persetan
dengan janji” sergah Anton menyingkirkan kedua tangan Amira dari dadanya.
“janji?
Hah.. kamu bilang janji? Kamu bodoh Amira, kamu bodoh. Percaya dengan janji
laki-laki”
“kamu
jahat Anton, harus berapa kali aku bilang bahwa ini adalah anakmu”
“itu
bukan anakku!!!” teriak Anton
“ini
anakmu, darah dagingmu” Amira tak mau kalah
“baiklah,
jika kamu bersikeras bahwa itu anakku. Ayo sekarang kita ke dokter, gugurkan
janin yang ada dalam kandunganmu itu”
“TIDAKK!!”
bantah Amira keras
“tidak?
Kamu bilang tidak? Lantas maumu apa?
“nikahi
aku” jawab Amira dalam isaknya
“APA??
Menikahi kamu? Jangan mimpi Amira, jangan pernah bermimpi aku akan menikahi
kamu, walau bagaimanapu aku nggak akan mengakui bahwa itu adalah darah
dagingku” bentak Anton seraya menunjuk pada perut Amira.
“lantas bagaimana denganku?? Bagaimana dengan
kedua orangtuaku? Apa yang harus aku katakan pada mereka?”
“semuanya
akan beres jika kamu mahu mengikuti ajakanku tadi” jawab Anton
“nggak
Anton, nggak. Walau bagaimanapun aku nggak akan pernah membunuh anak ini” ujar
Amira dengan suara hampir nyaris tak terdengar.
“oke,
kalau kamu tetap bersikukuh tidak mahu, mulai sekarang jangan pernah temui aku
lagi. Jangan pernah mengaku-ngaku kalau itu adalah anakku, sampai kapanpun aku
nggak akan pernah mengakui, karena aku nggak akan pernah menikahimu” Tanpa rasa
bersalah Anton pergi meninggalkan Amira yang masih berdiri mematung dalam isak
tangisnya.
Amira
benar-benar tak menyangka bahwa Anton laki-laki yang sangat ia cintai akan
sejahat itu terhadapnya, semua pengorbanan yang ia berikan benar-benar tidak
ada artinya. Pikirannya mulai kacau, banyak pertanyaan yang mulai bergelayut
dalam benaknya. Apa yang akan ia katakan jika orang tuanya tahu? Apa yang akan
ia perbuat?. Kedua lutut Amira tampak lemas seakan tak mampu menopang tubuh
mungilnya. Kertas dari dokter yang berisi laporan positif kehamilannya jatuh ke
tanah, bersamaan dengan itu tubuhnya ambruk.
***
Suasana
kamar kontrakan yang berukuran 4x5 meter persegi itu tampak lengang, tidak
seperti biasanya penghuni kontrakan mendengarkan music rock kesukaannya. Tapi
saat ini ia tidak ingin melakukannya, pikirannya jauh menerawang di dalamnya
kelam malam malam. Sejak kejadian di koridor kampus siang itu, Anton tak lagi
melihat sosok Amira berkeliaran di kampus, biasanya cewek itu sering santai di
depan kelas bersama teman-temannya. Namun sejak satu minggu terakhir ini Anton
benar-benar kehilangan jejak Amira, tidak ada yang tahu keberadaan Amira
meskipun teman-temannya. Entah kenapa dua hari setelah pertengkarannya dengan
Amira ia selalu dihantui rasa bersalah meski ia telah mencoba mengelaknya.
Terakhir orang yang ditanya Anton adalah teman sekamar Amira di kostnya, bahwa
sudah satu minggu Amira pulang ke Solo (tempat kelahirannya).
Entah
malaikat apa yang membukakan hati nurani
Anton, malam itu juga ia bertekad untuk menemui Amira di rumahnya. Jam dinding
besar yang terletak di muka bandara Internasional Achmad Yani kota Semarang
menunjukkan angka 10.24. Setelah mengurus semua administrasi pesawat yang akan
ditumpangi, Anton lepas landas pada jam 11.00 menuju bandara Adi Sumarmo kota
Surakarta (Solo). Sesampainya ditempat tujuan tidak mudah bagi Anton untuk
menemukan alamat rumah Amira yang terletak di tengah kota Solo. Malam yang
semakin larut juga menjadi kendala untuk bertanya pada rumah-rumah penduduk
Solo. Dari jauh Anton tersenyum mendapati pos hansip yang masih jaga, dan dari
hansip tersebut ia akhirnya bisa sampai pada kediaman Amira.
Rumah
bercat coklat cream terlihat megah dari luar, namun tampak begitu sepi. Dari
luar rumah itu terlihat gelap, mungkin Amira dan keluarganya sudah tidur, pikir
Anton. Ia berniat menemui Amira esok harinya. “mungkin ada penginapan yang
masih buka” gumamnya seraya membalikkan badan, disaat itu juga tiba-tiba seseorang
menepuk pundaknya. Hal itu membuat anton terjungkir hampir jatuh ke belakang.
“cari
siapa malam-malam begini nak?” orang itu bertanya yang umurnya kira-kira sudah
50-an.
“anu…
saya.. saya cari Amira pak” jawab Anton terbata, ia masih sock karena kaget
dengan adanya bapak tersebut.
“maaf
mengagetkan ananda, saya tukang kebun di rumah ini, dan saat ini orang yang
ananda cari sedang tidak di rumah.
“Amira?
Dia kemana pak?”
Laki-laki
yang mengaku tukang kebun di rumah Amira enggan menjawab pertanyaan Anton, ada
raut gelisan yang terpampang di wajahnya.
“pak?
Amira kemana?” Anton mengulang pertanyaannya.
“sekali
lagi maaf, ananda ini siapa mencari non Amira?”
“saya
temannya di kampus pak. Sudah 1 minggu lebih Amira tidak terlihat di kampus,
makanya saya cari ke rumahnya” jelas Anton.
“non
Amira… non Amira….” Laki-laki tua itu terbata, matanya mulai berkaca-kaca
“Amira
kenapa pak?” Tanya Anton dengan perasan yang sangat tidak tenang.
“non
Amira di rumah sakit, sudah lima hari dia di rumah sakit, kata nyonya non Amira
koma”
Bagai
disambar petir Anton mendengar jawaban tukang kebun, hatinya bergejolak,
perasaannya benar-benar tidak tenang, ternyata selama ini ia dihantui rasa
bersalah karena keadaan Amira yang tidak pernah ia duga.
***
Di
alatar senja, cinta telah hadir membawa sejuta luka, cinta itu hadir saat
semuanya telah musnah, musnah karena keegoisan yang berujungkan penyesalan. Senja
tak lagi mengerti apa yang diinginkan hati. “menyesal” itulah yang dirasakan
Anton saat ini, hatinya terasa sakit saat mengingat sosok Amira, tak dapat
dipungkiri bahwa ia pernah mencintai wanita itu. Masih terlihat jelas dalam
memori Anton, detik-detik Amira menghembuskan nafas terakhirnya, wajah Amira
tampak begitu anggun dengan balutan kerudung putih di kepala. Anton tidak tahu sejak
kapan Amira mengenakan jilbab, apakah sejak pulang ke rumah atau kapan ia tidak
tahu, yang pasti saat itu Amira benar-benar terlihat cantik meski wajahnya
terlihat pucat. Dan yang paling menyakitkan bagi Anton saat ini adalah bahwa
pada kenyataannya kematian Amira disebabkan oleh dirinya, karena keegoisannya
yang bersikukuh tak mahu mengakui kebenaran yang terjadi. Menurut dokter
kematian Amira disebabkan karena pendarahan, begitu banyaknya darah yang keluar
dari rahimnya karena percobaan aborsi yang dilakukan sendiri. Kenapa begitu
angkuh dirinya? Kenapa begitu naïf untuk mengakui bahwa anak yang dikandung
Amira adalah darah dagingnya? ?
Di
hadapan pusara Amira, Anton bersimpuh, kedua tangannya erat memegang batu
nisan, perlahan-lahan kepalanya merunduk sampai menyentuh tanah kuburan,
tiba-tiba secara perlahan semuanya terasa gelap, gelap dan tak merasakan
apa-apa. Darah mengalir deras dari pergelangan tangannya akibat irisan pisau
yang ia iriskan tepat di urat nadinya.
0 komentar:
Posting Komentar