Senin, 02 Juni 2014

Cerpen (PENYESALAN DIBALIK SENJA)

PENYESALAN DIBALIK SENJA
oleh: Sumiyatun
Ditengah-tengah ribuan orang yang menatapnya penuh heran, perempuan itu berjalan lurus, tanpa alaskaki, dengan selembar kertas yang masih erat digenggam oleh tangan kanannya. Tak peduli miliaran pasang mata disekitarnya. Perempuan itu tampak berjalan sempoyongan, entah sejak kapan air mata mulai membanjiri pipi mulusnya. Dengan langkah pasti meski tanpa alas kaki perempuan muda itu menuju salah satu kontrakan yang terletak di Jl. Simpang Lima kota Semarang. Begitu sampai dimuka pintu kontrakan, dengan keras tangannya menggedor pintu.
Berkali-kali ia menggedor pintu kontrakan namun tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa pintu akan dibuka. Dari luar kontrakan itu tampak sepi seakan tak berpenghuni, tapi perempuan itu tetap mengira bahwa orang yang dicarinya sedang ada di dalamnya. Ia tahu bahwa laki-laki itu sedang bersembunyi dan sengaja tidak mahu menemuinya. Dengan perasaan kecewa campur marah akhirnya perempuan cantik itu membalikkan badannya meninggalkan kontrakan.
“AMIRA” tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya. Perempuan yang ternyata bernama Amira itu menoleh mencari asal suara.
“Desta…..??!!” ujarnya kaget
“kamu ngapain disini?” Tanya desta tak menghiraukan keterkejutan Amira
“aku?... aku…. Aku….”
“Anton?”  Desta menebak
“Barusaja dia pergi dengan Dessi, katanya sih mahu cari kado buat ulang tahun Desi esok lusa”
“ulang tahun? Dessi?” Amira tampak gugup
“iya Dessi, tunangan Anton. Kamu belum tahu kalau Anton…………..”
Tak ingin mendengar apa yang akan diucapkan Desta, Amira buru-buru berpaling dan bergegas meninggalkannya. Ia tak ingin mendengar lebih banyak tentang hubungan anton dan wanita yang bernama Dessi itu, yang bergelayut dalam pikirannya saat ini hanyalah Anton, Dessi dan isi lembaran yang dipegangnya.
***
Pagi ini Amira buru-buru ke kampus, ia berharap bisa menemui orang yang ia cari dan menceritakan apa yang telah terjadi. Hanya dengan sedikit taburan bedak dan olesan lipstick tipis di bibirnya Amira tampak begitu anggun. Kulitnya yang mulus dan rambutnya yang lurus tebal serta penampilannya yang bersih membuat kecantikannya terlihat alami. Amira adalah salah satu mahasiswi aktif di kampusnya, sejak pertama masuk kampus ia tidak pernah dekat dengan satupun laki-laki, setiap didekati ia selalu mengelak, alasannya ia tidak mahu kuliahnya terganggu. Entah kenapa sejak kenal dengan laki-laki yang bernama Anton ia berubah drastis, ia mulai jarang menghadiri acara organisasi yang ia ikuti di kampus, prinsip yang dulu ia pegang mati-matian “tidak ingin pacaran” terbengkalai karena Anton, dan entah apa yang membuatnya begitu percaya bahwa Anton adalah laki-laki yang baik, meski pada kenyataannya Anton telah menghancurkan semua impiannya.
***
Di koridor kampus
“PLAAKK” dengan keras Amira melayangkan tangannya ke pipi Anton. Wajahnya memerah, amarahnya tak bisa ditahan lagi mendengar kata-kata Anton, karena bukan jawaban itu yang Amira inginkan.
“kamu pikir aku ini perempuan APA?” nada suara Amira mulai meninggi. Sakit, itulah yang ia rasakan saat ini. Air mata yang ia tahan agar tidak keluar akhirnya tumpah membanjiri pipinya.
“sudahlah Amira, tidak perlu pura-pura menangis, sayang air mata buayamu keluar sia-sia” ujar Antor
“jangan harap dengan kamu menangis seperti ini, aku bisa iba sama kamu. Airmatamu tak akan mengubah pikiranku untuk mengakui bahwa janin yang kamu kandung adalah darah dagingku. Selama ini kamu pikir aku tidak tahu? Siapa saja laki-laki yang kamu kencan.....”
“PLAAKK” untuk yang kedua kalinya tamparan Amira mendarat di pipi Anton.
“jaga mulutmu Anton, mana janjimu dulu akan menjagaku? Mana janjimu akan bertanggung jawab atas perbuatanmu? MANA? JAWAB Anton.. JAWAB” nada suara Amira terdengar getir. Kedua tangannya bertumpu pada dada Anton.
“persetan dengan janji” sergah Anton menyingkirkan kedua tangan Amira dari dadanya.
“janji? Hah.. kamu bilang janji? Kamu bodoh Amira, kamu bodoh. Percaya dengan janji laki-laki”
“kamu jahat Anton, harus berapa kali aku bilang bahwa ini adalah anakmu”
“itu bukan anakku!!!” teriak Anton
“ini anakmu, darah dagingmu” Amira tak mau kalah
“baiklah, jika kamu bersikeras bahwa itu anakku. Ayo sekarang kita ke dokter, gugurkan janin yang ada dalam kandunganmu itu”
“TIDAKK!!” bantah Amira keras
“tidak? Kamu bilang tidak? Lantas maumu apa?
“nikahi aku” jawab Amira dalam isaknya
“APA?? Menikahi kamu? Jangan mimpi Amira, jangan pernah bermimpi aku akan menikahi kamu, walau bagaimanapu aku nggak akan mengakui bahwa itu adalah darah dagingku” bentak Anton seraya menunjuk pada perut Amira.
 “lantas bagaimana denganku?? Bagaimana dengan kedua orangtuaku? Apa yang harus aku katakan pada mereka?”
“semuanya akan beres jika kamu mahu mengikuti ajakanku tadi” jawab Anton
“nggak Anton, nggak. Walau bagaimanapun aku nggak akan pernah membunuh anak ini” ujar Amira dengan suara hampir nyaris tak terdengar.
“oke, kalau kamu tetap bersikukuh tidak mahu, mulai sekarang jangan pernah temui aku lagi. Jangan pernah mengaku-ngaku kalau itu adalah anakku, sampai kapanpun aku nggak akan pernah mengakui, karena aku nggak akan pernah menikahimu” Tanpa rasa bersalah Anton pergi meninggalkan Amira yang masih berdiri mematung dalam isak tangisnya.
Amira benar-benar tak menyangka bahwa Anton laki-laki yang sangat ia cintai akan sejahat itu terhadapnya, semua pengorbanan yang ia berikan benar-benar tidak ada artinya. Pikirannya mulai kacau, banyak pertanyaan yang mulai bergelayut dalam benaknya. Apa yang akan ia katakan jika orang tuanya tahu? Apa yang akan ia perbuat?. Kedua lutut Amira tampak lemas seakan tak mampu menopang tubuh mungilnya. Kertas dari dokter yang berisi laporan positif kehamilannya jatuh ke tanah, bersamaan dengan itu tubuhnya ambruk.
***
Suasana kamar kontrakan yang berukuran 4x5 meter persegi itu tampak lengang, tidak seperti biasanya penghuni kontrakan mendengarkan music rock kesukaannya. Tapi saat ini ia tidak ingin melakukannya, pikirannya jauh menerawang di dalamnya kelam malam malam. Sejak kejadian di koridor kampus siang itu, Anton tak lagi melihat sosok Amira berkeliaran di kampus, biasanya cewek itu sering santai di depan kelas bersama teman-temannya. Namun sejak satu minggu terakhir ini Anton benar-benar kehilangan jejak Amira, tidak ada yang tahu keberadaan Amira meskipun teman-temannya. Entah kenapa dua hari setelah pertengkarannya dengan Amira ia selalu dihantui rasa bersalah meski ia telah mencoba mengelaknya. Terakhir orang yang ditanya Anton adalah teman sekamar Amira di kostnya, bahwa sudah satu minggu Amira pulang ke Solo (tempat kelahirannya).   
Entah malaikat apa yang  membukakan hati nurani Anton, malam itu juga ia bertekad untuk menemui Amira di rumahnya. Jam dinding besar yang terletak di muka bandara Internasional Achmad Yani kota Semarang menunjukkan angka 10.24. Setelah mengurus semua administrasi pesawat yang akan ditumpangi, Anton lepas landas pada jam 11.00 menuju bandara Adi Sumarmo kota Surakarta (Solo). Sesampainya ditempat tujuan tidak mudah bagi Anton untuk menemukan alamat rumah Amira yang terletak di tengah kota Solo. Malam yang semakin larut juga menjadi kendala untuk bertanya pada rumah-rumah penduduk Solo. Dari jauh Anton tersenyum mendapati pos hansip yang masih jaga, dan dari hansip tersebut ia akhirnya bisa sampai pada kediaman Amira.
Rumah bercat coklat cream terlihat megah dari luar, namun tampak begitu sepi. Dari luar rumah itu terlihat gelap, mungkin Amira dan keluarganya sudah tidur, pikir Anton. Ia berniat menemui Amira esok harinya. “mungkin ada penginapan yang masih buka” gumamnya seraya membalikkan badan, disaat itu juga tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Hal itu membuat anton terjungkir hampir jatuh ke belakang.
“cari siapa malam-malam begini nak?” orang itu bertanya yang umurnya kira-kira sudah 50-an.
“anu… saya.. saya cari Amira pak” jawab Anton terbata, ia masih sock karena kaget dengan adanya bapak tersebut.
“maaf mengagetkan ananda, saya tukang kebun di rumah ini, dan saat ini orang yang ananda cari sedang tidak di rumah.
“Amira? Dia kemana pak?”
Laki-laki yang mengaku tukang kebun di rumah Amira enggan menjawab pertanyaan Anton, ada raut gelisan yang terpampang di wajahnya.
“pak? Amira kemana?” Anton mengulang pertanyaannya.
“sekali lagi maaf, ananda ini siapa mencari non Amira?”
“saya temannya di kampus pak. Sudah 1 minggu lebih Amira tidak terlihat di kampus, makanya saya cari ke rumahnya” jelas Anton.
“non Amira… non Amira….” Laki-laki tua itu terbata, matanya mulai berkaca-kaca
“Amira kenapa pak?” Tanya Anton dengan perasan yang sangat tidak tenang.
“non Amira di rumah sakit, sudah lima hari dia di rumah sakit, kata nyonya non Amira koma”
Bagai disambar petir Anton mendengar jawaban tukang kebun, hatinya bergejolak, perasaannya benar-benar tidak tenang, ternyata selama ini ia dihantui rasa bersalah karena keadaan Amira yang tidak pernah ia duga.
***
Di alatar senja, cinta telah hadir membawa sejuta luka, cinta itu hadir saat semuanya telah musnah, musnah karena keegoisan yang berujungkan penyesalan. Senja tak lagi mengerti apa yang diinginkan hati. “menyesal” itulah yang dirasakan Anton saat ini, hatinya terasa sakit saat mengingat sosok Amira, tak dapat dipungkiri bahwa ia pernah mencintai wanita itu. Masih terlihat jelas dalam memori Anton, detik-detik Amira menghembuskan nafas terakhirnya, wajah Amira tampak begitu anggun dengan balutan kerudung putih di kepala. Anton tidak tahu sejak kapan Amira mengenakan jilbab, apakah sejak pulang ke rumah atau kapan ia tidak tahu, yang pasti saat itu Amira benar-benar terlihat cantik meski wajahnya terlihat pucat. Dan yang paling menyakitkan bagi Anton saat ini adalah bahwa pada kenyataannya kematian Amira disebabkan oleh dirinya, karena keegoisannya yang bersikukuh tak mahu mengakui kebenaran yang terjadi. Menurut dokter kematian Amira disebabkan karena pendarahan, begitu banyaknya darah yang keluar dari rahimnya karena percobaan aborsi yang dilakukan sendiri. Kenapa begitu angkuh dirinya? Kenapa begitu naïf untuk mengakui bahwa anak yang dikandung Amira adalah darah dagingnya? ?

Di hadapan pusara Amira, Anton bersimpuh, kedua tangannya erat memegang batu nisan, perlahan-lahan kepalanya merunduk sampai menyentuh tanah kuburan, tiba-tiba secara perlahan semuanya terasa gelap, gelap dan tak merasakan apa-apa. Darah mengalir deras dari pergelangan tangannya akibat irisan pisau yang ia iriskan tepat di urat nadinya.

0 komentar:

Posting Komentar