Kamis, 16 Juni 2016

Cerpen "Muara Kasih Ibu"



MUARA KASIH IBU
Oleh:Miya
Terik matahari benar-benar membakar bumi Surabaya, panas yang menyelimuti kota, debu-debu beterbangan akibat padatnya kendaraan yang berlalu lalang dan menyebabkan polusi udara semakin meningkat.Wanita berkepala empat itu tampak bersemangat mengayuh sepeda ontelnya, tak peduli keringat yang mulai membanjiri seluruh tubuh, sesekali ia mengelap keringat dengan lengan bajunya yang lusuh, tak sedikit pun ia terlihat lelah dan letih, bahkan senyum cerah menyungging di wajahnya yang mulai dihiasi keriput-keriput tipis. Wanita itu bernama Bu Zainab si pedagang sayur di pasar kedongdong. Ia sengaja pulang cepat dari pasar karena tak sabar ingin menemui sang putri tercinta yang katanya baru pulang dari tempat perantauan menimba ilmu. Masih ingat dengan jelas dalam pikirannya betapa cantik anak semata wayangnya ketika berpamitan hendak merantau ke kota sebrang untuk kuliah.
“Bu, Mina pamit, dhungakno[1] Mina biar sukses kuliahnya” ujar Amina dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu mencium kedua tangan ibunya dengan lembut.
“Hati-hati di sana ya nak, jaga diri baik-baik. Ingat pesan Ibu, jangan pernah sekali-kali tinggalkan ibadah” hening sejenak.
“Dan..... jangan pernah melepas hijab dikepalamu demi siapapun. Hanya itu pesan Ibu” suara Ibu terdengar serak, sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak tumpah dihadapan putri tercintanya.
***
Setelah memarkir sepeda di pekarangan rumah, Bu Zinab segera berlari menuju halaman depan dengan senyum lebar yang masih menghias di raut wajahnya, ia berharap anaknya tak terlalu lama menunggu. Tiba-tiba matanya tertuju pada gadis dengan bercelana jeans dan baju tanpa lengan yang berdiri mematung di depan rumah dengan posisi memunggunginya, “siapa gadis ini?” gumamnya. Punggung gadis itu tak asing baginya, bentuk tubunya meskipun terlihat sedikit lebih tinggi benar-benar ia kenal. Gadis itu adalah Amina putri tercintanya.
“Mina...” panggilnya dengan yang suara nyaris tak terdengar, ada rasa sakit yang mengganjal batinnya melihat Amina. Gadis itu menoleh dan kemudian tersenyum, bergegas ia menghampiri Bu Zainab yang masih mematung dengan perasaan tak karuan.
“Ibu..” Amina mencium tangan Ibunya.
“Ibu kenapa lama sekali? Bukankah Mina sudah bilang dari kemarin kalau hari ini mau pulang? Mina kangen Ibu” ujar Amina seraya memeluk erat tubuh Ibunya yang tetap berdiri tak bergerak sedikitpun.
“Kemana kerudungmu nak?” Bu Zainab bertanya hati-hati, meskipun sebenarnya ia ingin sekali memarahi Amina. Namun itu tak dilakukan karena ia tak ingin menyakiti hati putrinya.
“Mina lapar Bu, kangen masakan Ibu” gadis itu melepas pelukannya. Bu Zainab tau kalau anaknya mencoba mengalihkan pembicaran, pertanyaan yang sedari tadi bergelayut dipikirannya kini semakin membuncah dengan sikap Amina. Meski ragu-ragu Bu Zainab tetap mengajak putrinya masuk ke dalam rumah.
Yo’opo[2] kuliahmu nduk[3]?” tanya Bu Zainab seraya membantu Amina melipat baju yang baru saja dikeluarkan dari koper.
“Baik” jawab Amina pelan tanpa menoleh
“Kenapa baju-bajunya banyak yang dibawa pulang nak? Apa ini liburan panjang? Kata anaknya Bu Ningsih apa namanya itu? kalau setelah ulangan terus ada libur? Ibu lupa namanya”
“Liburan akhir semester” sela Amina dengan nada suara datar. Mendengar jawaban Amina, Bu Zainab mengernyitkan dahi bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anakku? Adakah sesuatu yang ingin ia ceritakan padaku? Kenapa dia terlihat tidak suka dengan pembahasan tentang kuliah? Tidak, bukan itu yang ingin aku pertanyakan, ada hal lain yang sedari tadi menganggu pikiranku. Kemana hijab yang dulu menutup kepalanya? Kemana pakaian yang dulu membalut seluruh tubuhnya?.
***
Pagi itu embun tebal sekali, begitu cerianya membalut tubuh ilalang, tak peduli kehadirannya menambah bekunya suasana, tak peduli keadaannya membekukan seluruh isi bumi, angin berhembus semilir namun membawa perasaan dingin yang membuncah. Sedikit demi sedikit mentari tampil dengan kilauan emasnya, merahkan langit dan punggung gunung sampai rasa hangat menjalar ditubuh Bu Zainab. Hari ini ia ingin memasak untuk Amina, ia sengaja meliburkan dirinya menjual sayur di pasar, karena itu pagi-pagi sekali ia bergegas menuju toko untuk membeli beras.
“Bu Jainab, hari ini ndak ke pasar?” tanya penjaga toko seraya menuangkan beras ke dalam timbangan.
“Ndak Bu, hari ini saya mau masak yang enak-enak buat Mina”
“Loalahhh.. iyo sih si Mina sudah pulang toh dari Jogja. wingi[4] aku lihat di depan rumah Bu Jainab sambil bawa koper” Ibu penjaga toko itu menimpali.
“Tapi loh Bu Jainab, kemaren saya lihat Mina ndak pakai krudung ya, apa dia sudah jadi anak gaul ya Bu Jainab?” dengan nada mendoknya Ibu itu berkata.
Bukan sekedar kata-kata, ditelinga Bu Zainab perkataan itu terdengar seperti cacian. Memang benar apa yang dikatakannya, semuanya tidak salah, bukankah pada kenyataannya anakku memang bukan Amina yang ku kenal dulu? Dia, dia seakan menjadi orang lain yang sedang menyakitiku.
“Bu Jainab? Kenapa melamun? Ini berasnya, uangnya dibawa saja dulu kembaliannya belum ada”
“Bu Yes, Amina.... tentang kerudung, itu peraturan dari kampusnya” ujar Bu Zainab terbata, ia tau itu jauh dari kenyataan, ia tau kalau itu bohong, namun ia juga ingin melindungi anaknya.
***
“Sudah kenyang nak?” Bu Zainab menghampiri anaknya yang saat itu sedang menulis sesuatu, entah apa.
“Sudah Bu, terima kasih, masakan Ibu tidak berubah” Amina menjawab seraya menutup bukunya. Bu Zainab meraih tangan Aminah dan menatap lekat ke arah gadis itu.
“Sekarang... anak Ibu sudah besar, sudah cantik pula, sudah kuliah...” ucap Bu Zainab sungguh-sungguh.
Hening...
“Mina, jangan khawatir Ibu masih sanggup membiayai kamu, jika perlu Ibu akan menjual warisan ayahmu asal Ibu bisa melihat kamu sukses. Ibu akan lakukan apapun itu.” Bu Zainab berusaha menata tiap ucapan yang keluar dari mulutnya, ia benar-benar tidak ingin menyinggung perasaan anak semata wayangnya.
“Tapi nak...”
“Ibu ndak mau Mina berubah, Ibu... Ibu ingin melihat Amina yang dulu, Ibu ingin Mina ndak melupakan nasihat Ibu. Ibu..... “ Suara Bu Zainab terdengar terdengar parau, matanya berkaca-kaca.
“Maafkan Amina Bu..”
“Mina tetap Mina yang dulu, tidak ada sedikit pun yang berubah, tetap Amina yang sayang sama Ibu”
“Ibu ingin Mina memakai kembali hijab Itu” Sela Bu Zainab seraya menundukkan kepala.
“Mina... Mina tidak pantas memakainya Bu, Mina nggak...... “ Suara Amina mulai serak, ia tak kuasa menahan bendungan air mata yang sebenarnya ingin ia tumpahkan sejak pertama kali kakinya menyentuh tanah kelahirannya. Apa yang selama ini dipendamnya kini ia ceritakan, ia buka semua yang ia alami di hadapan Ibu tercintanya, meski sakit dan ingin melupakan semuanya ia tak ingin menyembunyikan apapun dari sosok yang telah melahirkannya itu.
“Maafkan Mina yang tidak bisa menjaga diri, Ibu berhak marah dan menghukum Amina” Suaranya nyaris tak terdengar bersamaan dengan isak tangis yang menderu. Bu Zainab terlihah lunglai namun ia berusaha tetap tegar, apapun yang terjadi Amina tetaplah anaknya, ia tak ingin menyalahkan siapapun.
“Ibu tidak berhak menghukummu nak, hanya Gusti Allah yang berhak atas semua itu, Ibu juga tidak akan memarahimu, semua sudah terjadi diluar dugaan. Ibu hanya gagal mendidikmu menjadi anak yang Ibu inginkan, Ibu yang salah” Benteng yang dipertahankan Bu Zainab akhirnya pecah, tangisnyapun bertumpah ruah dihadapan Amina.
“Nggak Bu, nggak! Ibu nggak salah apapun” Amina menimpali
“Ibu ingin melupakan semua yang Mina ceritakan barusan, Ibu ingin kamu kembali ke Amina yang dulu, tidak ada kata terlambat untuk bertobat, Gusti Allah akan mengampuni segala yang diperbuat hamba-Nya dengan syarat benar-benar bertaubat. Jadi tolong nak, jangan pernah mengubah Aminaku yang dulu, Ibu rindu Amina yang dulu, Ibu sayang Amina. Hanya kamu satu-satunya harta berharga yang Ibu miliki saat ini nak.” Ucap Bu Zainab terbata, dan tanpa diperintah Amina langsung berhambur ke dalam pelukannya. Pelukan hangat, pelukan yang selama ini Amina butuhkan, pelukan dari seorang Ibu. Amina tak ingin melepas pelukan itu, meski ia tau air matanya telah membanjiri pundak Ibunya.
“Maafkan Amina Bu, Amina janji tidak akan melanggar semua nasihat Ibu, dan... terimakasih sudah menjadi Ibu yang baik, menyayangi Amina dalam keadaan apapun.” Amina bergumam dalam hati, ia memejamkan mata di balik pundak Ibunya. Kehangatan itu semakin membuncah ia rasakan, ia sadar bahwa kasih Ibu takkan hilang dalam keadaan apapun dan tetap bermuara pada kehidupan anaknya.
SELESAI


[1] Doakan
[2] Bagaimana
[3] Nak
[4] kemarin