Selasa, 29 Desember 2015

Cerpen "Aku Memang Pelacur"



AKU MEMANG PELACUR
Oleh: Miya
Jarum jam menunjuk angka 02.15 dini hari, dingin sudah mulai membelai kulit dan meminta perhatian agar aku segera tidur. Aku sudah memuaskan birahi Pak Narto, lelaki gendut kepala botak. Dia berjalan terhuyung-huyung pulang ke rumahnya. Badannya bau sekali, mungkin dia hanya mandi pada bulan Suro saja, nafasnya ngosngosan seperti dikejar maling. Kalau saja dia tidak membayar selembar ratusan ribu untuk "short attack", aku tidak akan sudi melayaninya.
***
Banyak nama, banyak julukan, banyak vonis, aku tahu itu. Tidak akan diriku berubah marah, pun saat tidak hanya terlintas dalam kepala, tapi turun pula melewati mulut yang terbuka, menjadi kata-kata yang bisa jelas kudengar. Aku tidak pernah marah dengan apa yang mereka lontarkan padaku, “DASAR PELACUR” begitulah mereka memakiku ketika secara dengan sengaja aku sedang duduk manis di mobil suami mereka, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. Ya, aku memang pelacur, itulah pada kenyataannya. Aku tidak pernah menutup-nutupi siapa dan seperti apa jati diriku. Aku berusaha menjadi kawan yang baik untuk semua klienku, aku sering mendengar mereka bercerita tentang keluh-kesah dan mimpi-mimpi. Juga untuk gosip-gosip politik. Aku juga bisa menjadi lawan bicara untuk berdiskusi bila mereka mau.
***
Malam semakin larut, suara jangkrik mulai memecah keheningan malam. Angin sepoi menambah bekunya tubuhku yang hanya dengan balutan tanktop dan rok jins mini, tubuh yang sering mereka bilang seksi saat mereka mencoba merayuku. Malam ini aku dengan sengaja menemani segerombolan anak muda di cafe Taria tempat aku nongkrong. Mereka sesekali terbahak sambil memandang manis ke wajahku. Disela-sela tawanya tiba-tiba satu diantara mereka menyeletukkan sebuah pertanyaan.
”Menurutmu, untuk apa kita bernegara?” tanyanya kepadaku.
”Hm, gak tahu ya,” aku menjawab singkat.
”yah, begitulah, rakyat zaman sekarang, tidak mau ambil pusing tentang nasib negara ini, walau mereka banyak dipusingkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, kita harus bergerak. Revolusi!” berapi-api ia mengatakan itu di depanku dan di depan kawan-kawannya. Aku hanya diam saja, menuang bir ke gelas-gelas yang kosong. Aku memang suka mendengarkan orang berbicara tentang negara, meskipun aku tidak terlalu faham, namun aku bisa menyimpulkan dari sekian banyak pembicaraan orang bahwa negara tidak adil terhadap rakyat.
”Pendidikan politik bagi masyarakat harus terus dilakukan.” Satu yang lain dari mereka menyahut.
 “Ya, itu memang benar, kita harus menceburkan diri hidup bersama rakyat, membangun kesadaran kolektif, membangun organisasi massa yang sadar politik. Rakyat harus bisa memiliki kekuatan yang terorganisir agar bisa menyuarakan dan mendesakkan kepentingannya, apalagi dipemilihan pemilu nanti, kita harus benar-benar memilih pemimpin yang bisa membawa negara indonesia ini lebih baik”
“Betul sekali, kita sebagai rakyat jangan pernah tertipu dengan politik negara, seharusnya bukan negara yaang mengatur kita, tapi kitalah sebagai generasi muda yang harus bisa mengatur negara” Celetuk yang lainnya.
Tidak paham. Tapi senang. Itulah yang membuat diriku bertahan berkumpul menemani dan melayani mereka. Semangat anak-anak muda yang membuatku kagum. Bila saja semua anak muda di negeri ini seperti itu? Tapi ya, bukan nongkrong di sini, menghabiskan malam ditemani bir dan pelacur seperti diriku. Semangat untuk bekerja yang lebih baik.
“Coba kita pikirkan dalam-dalam, kita berada di sini, di wilayah yang tidak pernah diakui dan selalu dihujat, tapi setiap hari ratusan atau bahkan ribuan orang datang. Inilah wajah kemunafikan kita. Adanya perempuan-perempuan di sini, menunjukkan negara telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Coba tanya Mbak Lestari ini, apa Mbak senang menjalani kehidupan seperti ini? Pasti Mbak terpaksa,” anak muda yang pertama bertanya lagi dan memandang lekat mataku. Aku  hanya tersenyum mendengarnya. Karena melihatku sepertinya tidak akan menjawab ia kembali berceloteh.
“Jadi teringat puisi Rendra. Bersatulah pelacur-pelacur Kota Jakarta,” seseorang menyela. Lalu ia berdiri dan bergaya.
Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Aku tersenyum-senyum sendiri. Walau gak paham apa yang dikatakan, tapi gayanya sangat lucu sekali. Semua kemudian tertawa terbahak.
***
Aku Memang Pelacur. Masih tinggal di tempat yang sama. Bekas lokalisasi yang sudah ditutup, tapi sekarang masih saja beroperasi. Sudah lebih dari 10 tahun aku di sini. Tidak akan dan bisa kemana-mana. Tidak ada sanak-saudara. Bapak-ibu pun tak punya. Tapi bukan berarti aku tidak pernah menjadi orang baik, memiliki sebuah keluar kecil aku pernah, bahagia ditengah-tengah keluarga aku juga pernah.
Dulu aku pernah menikah dengan seseorang yang begitu aku cintai, keluargaku adalah satu-satunya yang paling berharga buatku, ditambah dengan kehadiran putri cantik setelah dua tahun aku menikah. Namun petaka itu datang, malam itu saat aku pulang kerja, saat itu aku bekerja pada seorang pemilik toko terkenal di kota surabaya, aku menjadi karyawan ditempat itu. Karena seharian begitu banyak pelanggan aku cukup merasa lelah, jalanku sempoyongan, tiba-tiba dari arah utara datanglah segerombolan preman menghampiriku, tampaknya mereka mabuk karena mulut mereka menyergak bau alkohol. Pada akhirnya entah apa yang terjadi, aku tak ingin mengingatnya, namun yang tak bisa aku lupakan seumur hidup bahwa mereka orang-orang yang berlalu lalang di tempat itu hanya menonton saat aku diperkosa oleh mereka. Itulah awalmula dari perjalananku menjadi pelacur. Sejak saat itu aku merasa hina, aku tidak lagi kembali pada keluarga kecilku. Aku meninggalkan keluarga dan tempat kelahiranku, dan ditempat ini aku memulai semuanya. Aku tak pernah lagi bertemu suami dan anakku.

Cerpen "Muara Kasih Ibu"



MUARA KASIH IBU
Oleh: Sumiyatun
Terik matahari benar-benar membakar bumi Surabaya, panas yang menyelimuti kota, debu-debu beterbangan akibat padatnya kendaraan yang berlalu lalang dan menyebabkan polusi udara semakin meningkat.Wanita berkepala empat itu tampak bersemangat mengayuh sepeda ontelnya, tak peduli keringat yang mulai membanjiri seluruh tubuh, sesekali ia mengelap keringat dengan lengan bajunya yang lusuh, tak sedikit pun ia terlihat lelah dan letih, bahkan senyum cerah menyungging di wajahnya yang mulai dihiasi keriput-keriput tipis. Wanita itu bernama Bu Zainab si pedagang sayur di pasar kedongdong. Ia sengaja pulang cepat dari pasar karena tak sabar ingin menemui sang putri tercinta yang katanya baru pulang dari tempat perantauan menimba ilmu. Masih ingat dengan jelas dalam pikirannya betapa cantik anak semata wayangnya ketika berpamitan hendak merantau ke kota sebrang untuk kuliah.
“Bu, Mina pamit, dhungakno[1] Mina biar sukses kuliahnya” ujar Amina dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu mencium kedua tangan ibunya dengan lembut.
“Hati-hati di sana ya nak, jaga diri baik-baik. Ingat pesan Ibu, jangan pernah sekali-kali tinggalkan ibadah” hening sejenak.
“Dan..... jangan pernah melepas hijab dikepalamu demi siapapun. Hanya itu pesan Ibu” suara Ibu terdengar serak, sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak tumpah dihadapan putri tercintanya.
***
Setelah memarkir sepeda di pekarangan rumah, Bu Zinab segera berlari menuju halaman depan dengan senyum lebar yang masih menghias di raut wajahnya, ia berharap anaknya tak terlalu lama menunggu. Tiba-tiba matanya tertuju pada gadis dengan bercelana jeans dan baju tanpa lengan yang berdiri mematung di depan rumah dengan posisi memunggunginya, “siapa gadis ini?” gumamnya. Punggung gadis itu tak asing baginya, bentuk tubunya meskipun terlihat sedikit lebih tinggi benar-benar ia kenal. Gadis itu adalah Amina putri tercintanya.
“Mina...” panggilnya dengan yang suara nyaris tak terdengar, ada rasa sakit yang mengganjal batinnya melihat Amina. Gadis itu menoleh dan kemudian tersenyum, bergegas ia menghampiri Bu Zainab yang masih mematung dengan perasaan tak karuan.
“Ibu..” Amina mencium tangan Ibunya.
“Ibu kenapa lama sekali? Bukankah Mina sudah bilang dari kemarin kalau hari ini mau pulang? Mina kangen Ibu” ujar Amina seraya memeluk erat tubuh Ibunya yang tetap berdiri tak bergerak sedikitpun.
“Kemana kerudungmu nak?” Bu Zainab bertanya hati-hati, meskipun sebenarnya ia ingin sekali memarahi Amina. Namun itu tak dilakukan karena ia tak ingin menyakiti hati putrinya.
“Mina lapar Bu, kangen masakan Ibu” gadis itu melepas pelukannya. Bu Zainab tau kalau anaknya mencoba mengalihkan pembicaran, pertanyaan yang sedari tadi bergelayut dipikirannya kini semakin membuncah dengan sikap Amina. Meski ragu-ragu Bu Zainab tetap mengajak putrinya masuk ke dalam rumah.
Yo’opo[2] kuliahmu nduk[3]?” tanya Bu Zainab seraya membantu Amina melipat baju yang baru saja dikeluarkan dari koper.
“Baik” jawab Amina pelan tanpa menoleh
“Kenapa baju-bajunya banyak yang dibawa pulang nak? Apa ini liburan panjang? Kata anaknya Bu Ningsih apa namanya itu? kalau setelah ulangan terus ada libur? Ibu lupa namanya”
“Liburan akhir semester” sela Amina dengan nada suara datar. Mendengar jawaban Amina, Bu Zainab mengernyitkan dahi bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anakku? Adakah sesuatu yang ingin ia ceritakan padaku? Kenapa dia terlihat tidak suka dengan pembahasan tentang kuliah? Tidak, bukan itu yang ingin aku pertanyakan, ada hal lain yang sedari tadi menganggu pikiranku. Kemana hijab yang dulu menutup kepalanya? Kemana pakaian yang dulu membalut seluruh tubuhnya?.
***
Pagi itu embun tebal sekali, begitu cerianya membalut tubuh ilalang, tak peduli kehadirannya menambah bekunya suasana, tak peduli keadaannya membekukan seluruh isi bumi, angin berhembus semilir namun membawa perasaan dingin yang membuncah. Sedikit demi sedikit mentari tampil dengan kilauan emasnya, merahkan langit dan punggung gunung sampai rasa hangat menjalar ditubuh Bu Zainab. Hari ini ia ingin memasak untuk Amina, ia sengaja meliburkan dirinya menjual sayur di pasar, karena itu pagi-pagi sekali ia bergegas menuju toko untuk membeli beras.
“Bu Jainab, hari ini ndak ke pasar?” tanya penjaga toko seraya menuangkan beras ke dalam timbangan.
“Ndak Bu, hari ini saya mau masak yang enak-enak buat Mina”
“Loalahhh.. iyo sih si Mina sudah pulang toh dari Jogja. wingi[4] aku lihat di depan rumah Bu Jainab sambil bawa koper” Ibu penjaga toko itu menimpali.
“Tapi loh Bu Jainab, kemaren saya lihat Mina ndak pakai krudung ya, apa dia sudah jadi anak gaul ya Bu Jainab?” dengan nada mendoknya Ibu itu berkata.
Bukan sekedar kata-kata, ditelinga Bu Zainab perkataan itu terdengar seperti cacian. Memang benar apa yang dikatakannya, semuanya tidak salah, bukankah pada kenyataannya anakku memang bukan Amina yang ku kenal dulu? Dia, dia seakan menjadi orang lain yang sedang menyakitiku.
“Bu Jainab? Kenapa melamun? Ini berasnya, uangnya dibawa saja dulu kembaliannya belum ada”
“Bu Yes, Amina.... tentang kerudung, itu peraturan dari kampusnya” ujar Bu Zainab terbata, ia tau itu jauh dari kenyataan, ia tau kalau itu bohong, namun ia juga ingin melindungi anaknya.
***
“Sudah kenyang nak?” Bu Zainab menghampiri anaknya yang saat itu sedang menulis sesuatu, entah apa.
“Sudah Bu, terima kasih, masakan Ibu tidak berubah” Amina menjawab seraya menutup bukunya. Bu Zainab meraih tangan Aminah dan menatap lekat ke arah gadis itu.
“Sekarang... anak Ibu sudah besar, sudah cantik pula, sudah kuliah...” ucap Bu Zainab sungguh-sungguh.
Hening...
“Mina, jangan khawatir Ibu masih sanggup membiayai kamu, jika perlu Ibu akan menjual warisan ayahmu asal Ibu bisa melihat kamu sukses. Ibu akan lakukan apapun itu.” Bu Zainab berusaha menata tiap ucapan yang keluar dari mulutnya, ia benar-benar tidak ingin menyinggung perasaan anak semata wayangnya.
“Tapi nak...”
“Ibu ndak mau Mina berubah, Ibu... Ibu ingin melihat Amina yang dulu, Ibu ingin Mina ndak melupakan nasihat Ibu. Ibu..... “ Suara Bu Zainab terdengar terdengar parau, matanya berkaca-kaca.
“Maafkan Amina Bu..”
“Mina tetap Mina yang dulu, tidak ada sedikit pun yang berubah, tetap Amina yang sayang sama Ibu”
“Ibu ingin Mina memakai kembali hijab Itu” Sela Bu Zainab seraya menundukkan kepala.
“Mina... Mina tidak pantas memakainya Bu, Mina nggak...... “ Suara Amina mulai serak, ia tak kuasa menahan bendungan air mata yang sebenarnya ingin ia tumpahkan sejak pertama kali kakinya menyentuh tanah kelahirannya. Apa yang selama ini dipendamnya kini ia ceritakan, ia buka semua yang ia alami di hadapan Ibu tercintanya, meski sakit dan ingin melupakan semuanya ia tak ingin menyembunyikan apapun dari sosok yang telah melahirkannya itu.
“Maafkan Mina yang tidak bisa menjaga diri, Ibu berhak marah dan menghukum Amina” Suaranya nyaris tak terdengar bersamaan dengan isak tangis yang menderu. Bu Zainab terlihah lunglai namun ia berusaha tetap tegar, apapun yang terjadi Amina tetaplah anaknya, ia tak ingin menyalahkan siapapun.
“Ibu tidak berhak menghukummu nak, hanya Gusti Allah yang berhak atas semua itu, Ibu juga tidak akan memarahimu, semua sudah terjadi diluar dugaan. Ibu hanya gagal mendidikmu menjadi anak yang Ibu inginkan, Ibu yang salah” Benteng yang dipertahankan Bu Zainab akhirnya pecah, tangisnyapun bertumpah ruah dihadapan Amina.
“Nggak Bu, nggak! Ibu nggak salah apapun” Amina menimpali
“Ibu ingin melupakan semua yang Mina ceritakan barusan, Ibu ingin kamu kembali ke Amina yang dulu, tidak ada kata terlambat untuk bertobat, Gusti Allah akan mengampuni segala yang diperbuat hamba-Nya dengan syarat benar-benar bertaubat. Jadi tolong nak, jangan pernah mengubah Aminaku yang dulu, Ibu rindu Amina yang dulu, Ibu sayang Amina. Hanya kamu satu-satunya harta berharga yang Ibu miliki saat ini nak.” Ucap Bu Zainab terbata, dan tanpa diperintah Amina langsung berhambur ke dalam pelukannya. Pelukan hangat, pelukan yang selama ini Amina butuhkan, pelukan dari seorang Ibu. Amina tak ingin melepas pelukan itu, meski ia tau air matanya telah membanjiri pundak Ibunya.
“Maafkan Amina Bu, Amina janji tidak akan melanggar semua nasihat Ibu, dan... terimakasih sudah menjadi Ibu yang baik, menyayangi Amina dalam keadaan apapun.” Amina bergumam dalam hati, ia memejamkan mata di balik pundak Ibunya. Kehangatan itu semakin membuncah ia rasakan, ia sadar bahwa kasih Ibu takkan hilang dalam keadaan apapun dan tetap bermuara pada kehidupan anaknya.
SELESAI


[1] Doakan
[2] Bagaimana
[3] Nak
[4] kemarin