KISAH
PRINCE CHARMING
“Ih, nyebelin banget seh itu cowok!” Jena menunjuk dengan kepalanya
pada sosok cowok jangkung yang sedang dikerumuni oleh lima orang cewek,
sepertinya anak-anak kelas satu.Para cewek itu keliatan banget lagi cari
perhatian dengan tertawa keras-keras untuk setiap joke yang dikeluarkan cowok
jangkung tersebut. Saskia yang sedang asyik membaca ‘Lazuardy’, majalah
terbitan sekolah mendongak sebentar.
“Kenapa?Jealous?” ucap Saskia
kembali menekuri majalahnya.
“A-apa?” Jena tergagap. “Yang
bener aja !”
Saskia menunjuk pada artikel yang
tengah dibacanya.Artikel yang ditulis oleh Jena sendiri mengenai ketua tim
baseball yang dianggapnya doyan gonta-ganti cewek karena statusnya ketimbang
menulis prestasi yang baru dimenangkan tim baseball-nya dalam turnamen antar
propinsi bulan lalu. Jena lebih suka mengorek-ngorek kejelekannya berikut
tambahan komentar-komentar pedas dari mantan-mantan pacarnya yang sakit hati.
Menurutnya nggak ada yang menarik pada cowok yang bernama Benji Raditya, salah
satu Prince Charming. Sumpah, ini hal yang paling konyol bagi Jena setelah
berhasil menjadi editor Lazuardy, dia tetap tak bisa membuang rubrik ‘Prince Charming
of The Month’, urutan 10 besar cowok-cowok yang wajib dipuja. Dan Benji nggak
pernah melepaskan posisi paling atas. Lebih gilanya lagi ada sekelompok cewek
yang membuat fans club berikut blog serta bagi-bagi pin-up gratis.Saskia latah
ikut-ikutan daftar menjadi anggota. Tapi setelah Jena sukses menjodohkannya
dengan Jonas, ia langsung mencoret keanggotannya.
Jena kembali menatap sosok cowok
jangkung itu. Teringat kembali paras Byang merah padam saat melemparkan majalah
yang baru terbit di depan hidungnya seminggu yang lalu.
“Lo kira dengan tulisan idiot itu
elo bisa jadi wartawan hebat !” teriaknya waktu itu. Kuping Jena langsung
memerah.
Bukan cuma disitu saja
pertengkaran mereka bahkan jauh sebelumnya, saat mereka duduk di kelas satu
yang sama. Mereka terlibat debat di kelas Sosiologi saat Benji dengan lantang
bilang jika emansipasi kaum feminis itu sudah berlebihan. Kaum wanita tetap
tidak bisa disejajarkan dengan laki-laki terutama dalam hal kepimpinan.
Laki-laki pemegang utama. Tentu saja Jena yang tengah terobsesi menjadi editor
majalah Lazuardy menentang mati-matian. Debat pasti akan semakin sengit karena
mereka sudah mulai menyerang pribadi masing-masing jika tidak segera
diinterupsi oleh Bu Maya.Debat diskusi itu berakhir dengan tugas essay untuk
masing-masing siswa.
“Eh, elo udah punya pasangan buat
malam promnite ?” Suara Saskia membuyarkan lamunannya. Benji masih asyik
ketawa-ketiwi bersama para fansnya.
“Hah, apa ?” Jena kembali
tergagap, “Oh, soal itu. Belum ada”, jawabnya enteng. Kini ia beralih menatap
Saskia yang bangkit dan mengempit majalah di lengannya.
“Dia boleh juga dipertimbangkan.
Sangat menyenangkan sekali membuat patah hati para gadis itu !” ucapnya sambil
melirik ke arah Benji.
“Nggak akan gue pertimbangkan
sedikitpun !” serunya galak.
“Ya sudah, kalau begitu jangan
pandangi dia lama-lama. Dia pasti akan senang sekali mempunyai secret admirer.”
Mata Jena terbelalak lebar.
Tampangnya semakin galak. Dia langsung melancarkan protesnya.
“Menurut elo, gue…”
Kalimatnya segera dipotong oleh
kibasan tangan Saskia. Menyerahkan buku yang dikempitnya.
“Gue mau ketemu Jonas dulu. Mau
nyocokin baju promnite.Bye…” Saskia melambaikan tangan dan langsung melesat
pergi. Jena Cuma bengong menatap sahabatnya menjauh dan berbelok di ujung
koridor. Kemudian ia menggerutu tak jelas. Berbalik menuju lemari loker.
“Apa ?!” serunya galak saat
tiba-tiba mendapati Benji sudah berdiri di samping lokernya.
“Ya ampun, lo bisa ramah sedikit
ngggak seh? “
Jena menatap sinis, tapi Benji
tidak mempedulikannya.
“Lo belum punya pasangan
promnite, kan?” todong Benji.
“Bukan urusan lo.Minggir !”
bentak Jena saat Benji menjegal langkahnya. Matanya berkilat marah.
“Ok…”Benji menyamping, berbisik
di telinga Jena “Kalo lo belum dapet pasangan sampai malam promnite,lo boleh
telepon gue !”.
-----------------
Jena memasuki kamar bernuansa
pink saat Saskia tengah sibuk mematut-matutkan diri di depan cermin. Saskia
tengah mencoba gaun promnite-nya. Gaun panjang berwarna pink mengkilat. Menurut
Jena, Saskia cukup berani membalut kulitnya yang kecokelatan dengan warna pink
mencolok yang ia yakin semua orang pasti nggak akan ragu untuk menoleh.
Pastilah itu efek yang di inginkan Saskia saat memilih gaun pestanya.Tapi
Saskia tampak cantik. Gaun bertali spaghetti itu sangat pas ditubuhnya yang
ramping. Jena melirik stilleto berwarna emas melingkari kakinya. Tiga buah batu
hitam berjajar menghiasi bagian depan sepatunya yang terbuka. Usaha Saskia
untuk menjadi pusat perhatian perlu diacungi jempol.
“Hei,jangan bilang elo mulai
menyukai gue ya !”
Saskia berkacak pinggang tanpa
beranjak dari tempatnya berdiri. Lamunan Jena meledak,menariknya kembali pada
kamar bernuansa pink.
“Gue nggak akan jadi lesbian cuma
gara-gara belum dapat pasangan prom !” runtuk Jena, melangkah gontai menuju ranjang
Saskia yang lagi-lagi bedcover-nya berwarna pink dengan motif Strawberry on The
Shortcakes.
“Hei, ada seratus lebih cowok di
sekolah kita dan elo belum menentukan pilihan mau pergi sama siapa?”
Jena menggeleng. Meraih majalah
fashion edisi terbaru yang tergeletak terbuka menampilkan sosok Halle Berry
dengan gaun berwarna pink.
“Ini bukan waktunya
untuk pilih-pilih, honey. Jam tujuh malam ini acaranya.” Saskia
mengingtkan, karena tadi pagi Jena baru saja menolak ajakan Lillo anak kelas
12.B yang ia kenal saat puisi cintanya untuk Jena termuat dalam lazuardy edisi
valentine.
“Elo ngggak berencana buat nggak
datang, kan ?” lanjutnya sambil memutar tubuhnya menghadap Jena yang mulai
membaca artikel ‘ Fashion Through The Ages’.
“Honey, ini malam promnite kita
!” Saskia mendesah. “ Waktunya kita bersenang-senang setelah menguras otak saat
ujian. Dan mungkin ini juga malam terakhir kita berkumpul bareng temen-temen.
Jangan lo lewati Cuma karena nggak dapet pasangan. Nggak ada aturan lo harus
bawa pasangan. Yang penting pestanya, kebersamaan kita bareng temen-temen !”
Jena membenarkan kata-kata Saskia
sementara matanya tak lepas dari artikel yang dari tadi dibacanya. Sayang
sekali jika ia harus melewatkannya. Kebersamaannya selama 3 tahun dengan
teman-temannya tingggal menunggu hasil ujian keluar. Setelah itu mereka akan
mengambil jalan masing-masing entah kuliah atau langsung bekerja. Begitu juga
dengan para guru. Jena langsung teringat pada Mr. Anderson, guru bahasa Inggris
nya yang ganteng. Pasangan dansa bukan poin utama dalam pesta promnite. Yang
terpenting adalah kebersamaan untuk merayakan kemenangan setelah 3 tahun
berkutat dengan buku-buku, tugas-tugas sekolah, kertas ujian berikut
contekannya, omelan guru-guru bahkan sampai asem manisnya pacaran. Semua itu
akan menyenagkan sekali untuk dikenag suatu hari nanti.
--------------------
Jena melirik jam tangannya saat
jarum jam bergeser ke angka empat. Ia memasuki beranda rumah ketika Mbak Mia,
kakaknya sedang menyibukkan diri dengan pacarnya. Mereka melompat menjauh saat
menyadari kehadiran Jena. Buru-buru Mbak Mia meyambar laptop-nya.
Memencet-mencet keyboard-nya asal. Mas Prima dengan sigap mengambil minuman
kaleng di meja dan meneguknya hingga habis. Tak mau ambil pusing dengan apa
yang dilihatnya, Jena menghempaskan tubuhnya disebelah Mbak Mia yang bergeser
sedikit.
“Kenapa kamu?” tanya Mbak Mia
yang tak perlu berpura-pura lagi pada laptop-nya.
“Aku kayaknya nggak ikut ke prom
deh !” Jena ternyata masih bimbang apalagi ia sama sekali belum mempersiapkan
gaun pestanya.
“Belum dapet pasangan prom juga
?” tanya Mba Mia. “Duh, elo payah banget seh !!”
Jena memberenggut.
“Eh, tapi cowok yang tadi
lumayan.”
“Cowok ?” Jena mengernyit.
“He-eh, “ Mbak Mia mengangguk.
“Tadi siang ada cowok yang nyariin kamu, tapi langsung pulang setelah tahu kamu
nggak ada.”
“Siapa ?” tanya Jena tanya sabar.
“Siapa ya namanya ?” Mbak Mia
tampak berpikir. “Duh, kenapa gue selalu amnesia kalo mengingat nama orang.”
“Benji, “ celetuk Mas Prima
“Benji…,” Jena bergumam lirih.
Mbak Mia mengangguk-angguk. “Ngapain dia kesini ?”
Jena terus memikirkannya sampai
masuk ke dalam kamarnya.
--------------------
Jena memasuki aula sekolah yang
kini beralih menjadi ruang pesta. Bunga-bunga mawar dan lampu kerlap-kerlip
menyambutnya diiiringi musik jazz yang mengalun lembut dari pemain band diatas
panggung. Semua orang tampak bahagia menikmati suara merdu sang vokalis. Jena
melihat beberapa teman sekelasnya sedan asyik bergoyang. Matanya menyapu
kerumunan pesta, mencari seseorang yang memenuhi kepalanya sejak tadi sore.
“Akhirnya lo datang juga, “
Saskia dari arah belakang mengejutkannya dengan menggandeng Jonas. Gaun
pink-nya berkilauan diterpa cahaya lampu. Jonas tersenyum dengan tuxedo-nya.
Tampak serasi, pikir Jena.
“Dapet gaun dari mana lo ?” tanya
Saskia alih-alih memuji penampilan Jena malam ini yang mengenakan gaun putih
mutiara sepanjang lutut ditambahhigh heel warna senada dengan
hiasan pita kecil keemasan. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit curly
diujung-ujung rambutnya.
“Yah, untunglah Mbak Mia mau
meminjamkan bajunya. Lebih tepatnya sih-menyewakan.” Ucap Jena “Soalnya gue
ngegagalin kencannya sama mas Prima, “ beritahu Jena “Dan gue rasa sudah
waktunya dia membuka gerai sewa gaun pesta.”
Mereka bertiga tertawa, sementara
ruang pesta semakin sesak. Satu, dua pasangan mulai bergerak ke lantai dansa
saat alunan musik waltz melatarbelakangi. Jena mengamati dengan merana.
“Tenang aja honey, Jonas bersedia
jadi pasangan dansa kita berdua, “ ucap Saskia.Jonas mengangguk dengan
tersenyum tulus. “Tapi gue giliran pertama.” Lalu Saskia menarik Jonas ke
tengah lautan dansa. Sedetik kemudian tangan Saskia sudah melingkar di leher
Jonas yang dengan mantap merangkul pinggangnya. Mereka mulai berayun dan saling
bertatapan.
“Menyedihkan sekali !” Sebuah
suara kembali mengejutkannya.Hampir saja ia terpeleset dari high heel-nya.
Jena bersumpah tak akan pernah mau memakai sepatu seperti ini lagi. Ia teringat
pada sandal jepit Bali kesayangannya. Dilihatnya sosok Benji didepannya tanpa
minat untuk mencela. Cowok jangkung itu sudah mempesonanya dengan setelan jas
hitam plus kemeja putih. Jasnya sengaja tak dikancingkan. Rambut kecokelatannya
mencuat mengkilat. Sejenak Jena berpikir, ia pasti membubuhkan jel
banyak-banyak untuk menimbulkan efek tersebut.
“Hey, apa lo mulai sependapat
tentang polling konyol itu ?” Benji menilai ekspresi wajah Jena. Ia tercekat.
Mengangkat alisnya.
“Gue pikir elo menikmati menjadi
Prince Charming tak terkalahkan.”
“Makanya jangan cuma cewek-cewek
itu yang lo wawancarai. Memangnya gelar itu bisa meloloskan gue dengan mudah
masuk ke universitas,” serunya. Jena tertawa.
“Bukan mereka yang pengen gue
bawa kesini,” jawabnya. “Elo juga?”
Jena tersenyum kecut.
“Memangnya elo nggak tahu nomor
HP gue ?” tanya Benji tiba-tiba
“HAH…!!!?”
“Kan gue udah bilang elo bisa
hubungi gue untuk jasa pasangan dansa,” Benji membungkukkan sedikit badannya,
melipat tangan kirinya ke belakang dan sebelahnya ia sodorkan pada Jena. Sesaat
Jena tertegun, tapi segera menyambutnya dengan tersipu malu. Semua pasang mata
menatap mereka saat dengan canggung ia mengalungkan tangannya pada leher Benji.
Tak pernah terbayangkan ia bisa sedekat ini dengan Benji. Mata mereka saling
bertemu. Ia mulai berharap malam tidak cepat berlalu. Mengingat-ingat apakah
Saskia masih menyimpan pin-up ‘Benji Fans Club’.
“Sepertinya gue akan mendapat
masalah, “ bisik Jena. Mengerling pada beberapa orang cewek di sudut ruangan
yang tengah menatapnya galak. Tiga diantaranya mantan pacar Benji yang ia
wawancarai.
“Yeah, selamat bergabung denganku
kalau begitu, “ ucap Benji enteng. “Mereka sudah membuatku pusing selama 3
tahun ini.”
“Oh, ternyata gue ini aspirin elo
?” Jena tertawa geli.
“Ya, gue butuh gadis yang
berbeda, “ ucap Benji “Yang berkarakter !”
“Dan itu gue…” Jena tampak tersanjung.
Matanya membulat.
“Bukan,” Benji menggeleng.
“Tadinya gue ngajak Angelina Jolie, tapi kayaknya dia lebih memillh mengasuh
anak-anaknya.”
Jena tertawa keras sementara lagu
terus mengalun. Dan permusuhan pun berakhir.