MUARA KASIH IBU
Oleh: Sumiyatun
Terik matahari
benar-benar membakar bumi Surabaya, panas yang menyelimuti kota, debu-debu
beterbangan akibat padatnya kendaraan yang berlalu lalang dan menyebabkan
polusi udara semakin meningkat.Wanita berkepala empat itu tampak bersemangat
mengayuh sepeda ontelnya, tak peduli keringat yang mulai membanjiri seluruh
tubuh, sesekali ia mengelap keringat dengan lengan bajunya yang lusuh, tak
sedikit pun ia terlihat lelah dan letih, bahkan senyum cerah menyungging di
wajahnya yang mulai dihiasi keriput-keriput tipis. Wanita itu bernama Bu Zainab
si pedagang sayur di pasar kedongdong. Ia sengaja pulang cepat dari pasar
karena tak sabar ingin menemui sang putri tercinta yang katanya baru pulang
dari tempat perantauan menimba ilmu. Masih ingat dengan jelas dalam pikirannya
betapa cantik anak semata wayangnya ketika berpamitan hendak merantau ke kota
sebrang untuk kuliah.
“Bu, Mina pamit, dhungakno[1]
Mina biar sukses kuliahnya” ujar Amina dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu
mencium kedua tangan ibunya dengan lembut.
“Hati-hati di sana
ya nak, jaga diri baik-baik. Ingat pesan Ibu, jangan pernah sekali-kali
tinggalkan ibadah” hening sejenak.
“Dan..... jangan
pernah melepas hijab dikepalamu demi siapapun. Hanya itu pesan Ibu” suara Ibu terdengar
serak, sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak tumpah dihadapan putri
tercintanya.
***
Setelah memarkir
sepeda di pekarangan rumah, Bu Zinab segera berlari menuju halaman depan dengan
senyum lebar yang masih menghias di raut wajahnya, ia berharap anaknya tak terlalu
lama menunggu. Tiba-tiba matanya tertuju pada gadis dengan bercelana jeans dan baju tanpa lengan yang berdiri
mematung di depan rumah dengan posisi memunggunginya, “siapa gadis ini?”
gumamnya. Punggung gadis itu tak asing baginya, bentuk tubunya meskipun
terlihat sedikit lebih tinggi benar-benar ia kenal. Gadis itu adalah Amina
putri tercintanya.
“Mina...”
panggilnya dengan yang suara nyaris tak terdengar, ada rasa sakit yang
mengganjal batinnya melihat Amina. Gadis itu menoleh dan kemudian tersenyum,
bergegas ia menghampiri Bu Zainab yang masih mematung dengan perasaan tak
karuan.
“Ibu..” Amina
mencium tangan Ibunya.
“Ibu kenapa lama
sekali? Bukankah Mina sudah bilang dari kemarin kalau hari ini mau pulang? Mina
kangen Ibu” ujar Amina seraya memeluk erat tubuh Ibunya yang tetap berdiri tak
bergerak sedikitpun.
“Kemana kerudungmu
nak?” Bu Zainab bertanya hati-hati, meskipun sebenarnya ia ingin sekali
memarahi Amina. Namun itu tak dilakukan karena ia tak ingin menyakiti hati
putrinya.
“Mina lapar Bu,
kangen masakan Ibu” gadis itu melepas pelukannya. Bu Zainab tau kalau anaknya
mencoba mengalihkan pembicaran, pertanyaan yang sedari tadi bergelayut
dipikirannya kini semakin membuncah dengan sikap Amina. Meski ragu-ragu Bu
Zainab tetap mengajak putrinya masuk ke dalam rumah.
“Yo’opo[2]
kuliahmu nduk[3]?”
tanya Bu Zainab seraya membantu Amina melipat baju yang baru saja dikeluarkan
dari koper.
“Baik” jawab Amina
pelan tanpa menoleh
“Kenapa
baju-bajunya banyak yang dibawa pulang nak? Apa ini liburan panjang? Kata
anaknya Bu Ningsih apa namanya itu? kalau setelah ulangan terus ada libur? Ibu
lupa namanya”
“Liburan akhir
semester” sela Amina dengan nada suara datar. Mendengar jawaban Amina, Bu
Zainab mengernyitkan dahi bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anakku?
Adakah sesuatu yang ingin ia ceritakan padaku? Kenapa dia terlihat tidak suka
dengan pembahasan tentang kuliah? Tidak, bukan itu yang ingin aku pertanyakan,
ada hal lain yang sedari tadi menganggu pikiranku. Kemana hijab yang dulu menutup
kepalanya? Kemana pakaian yang dulu membalut seluruh tubuhnya?.
***
Pagi itu embun
tebal sekali, begitu cerianya membalut tubuh ilalang, tak peduli kehadirannya
menambah bekunya suasana, tak peduli keadaannya membekukan seluruh isi bumi,
angin berhembus semilir namun membawa perasaan dingin yang membuncah. Sedikit
demi sedikit mentari tampil dengan kilauan emasnya, merahkan langit dan
punggung gunung sampai rasa hangat menjalar ditubuh Bu Zainab. Hari ini ia
ingin memasak untuk Amina, ia sengaja meliburkan dirinya menjual sayur di
pasar, karena itu pagi-pagi sekali ia bergegas menuju toko untuk membeli beras.
“Bu Jainab, hari
ini ndak ke pasar?” tanya penjaga toko seraya menuangkan beras ke dalam
timbangan.
“Ndak Bu, hari ini
saya mau masak yang enak-enak buat Mina”
“Loalahhh.. iyo
sih si Mina sudah pulang toh dari Jogja. wingi[4]
aku lihat di depan rumah Bu Jainab sambil bawa koper” Ibu penjaga toko itu
menimpali.
“Tapi loh Bu Jainab,
kemaren saya lihat Mina ndak pakai krudung ya, apa dia sudah jadi anak gaul ya
Bu Jainab?” dengan nada mendoknya Ibu itu berkata.
Bukan sekedar
kata-kata, ditelinga Bu Zainab perkataan itu terdengar seperti cacian. Memang
benar apa yang dikatakannya, semuanya tidak salah, bukankah pada kenyataannya
anakku memang bukan Amina yang ku kenal dulu? Dia, dia seakan menjadi orang
lain yang sedang menyakitiku.
“Bu Jainab? Kenapa
melamun? Ini berasnya, uangnya dibawa saja dulu kembaliannya belum ada”
“Bu Yes, Amina....
tentang kerudung, itu peraturan dari kampusnya” ujar Bu Zainab terbata, ia tau
itu jauh dari kenyataan, ia tau kalau itu bohong, namun ia juga ingin
melindungi anaknya.
***
“Sudah kenyang
nak?” Bu Zainab menghampiri anaknya yang saat itu sedang menulis sesuatu, entah
apa.
“Sudah Bu, terima
kasih, masakan Ibu tidak berubah” Amina menjawab seraya menutup bukunya. Bu
Zainab meraih tangan Aminah dan menatap lekat ke arah gadis itu.
“Sekarang... anak
Ibu sudah besar, sudah cantik pula, sudah kuliah...” ucap Bu Zainab
sungguh-sungguh.
Hening...
“Mina, jangan khawatir
Ibu masih sanggup membiayai kamu, jika perlu Ibu akan menjual warisan ayahmu
asal Ibu bisa melihat kamu sukses. Ibu akan lakukan apapun itu.” Bu Zainab
berusaha menata tiap ucapan yang keluar dari mulutnya, ia benar-benar tidak
ingin menyinggung perasaan anak semata wayangnya.
“Tapi nak...”
“Ibu ndak mau Mina
berubah, Ibu... Ibu ingin melihat Amina yang dulu, Ibu ingin Mina ndak
melupakan nasihat Ibu. Ibu..... “ Suara Bu Zainab terdengar terdengar parau,
matanya berkaca-kaca.
“Maafkan Amina
Bu..”
“Mina tetap Mina
yang dulu, tidak ada sedikit pun yang berubah, tetap Amina yang sayang sama
Ibu”
“Ibu ingin Mina
memakai kembali hijab Itu” Sela Bu Zainab seraya menundukkan kepala.
“Mina... Mina
tidak pantas memakainya Bu, Mina nggak...... “ Suara Amina mulai serak, ia tak
kuasa menahan bendungan air mata yang sebenarnya ingin ia tumpahkan sejak
pertama kali kakinya menyentuh tanah kelahirannya. Apa yang selama ini
dipendamnya kini ia ceritakan, ia buka semua yang ia alami di hadapan Ibu
tercintanya, meski sakit dan ingin melupakan semuanya ia tak ingin
menyembunyikan apapun dari sosok yang telah melahirkannya itu.
“Maafkan Mina yang
tidak bisa menjaga diri, Ibu berhak marah dan menghukum Amina” Suaranya nyaris
tak terdengar bersamaan dengan isak tangis yang menderu. Bu Zainab terlihah
lunglai namun ia berusaha tetap tegar, apapun yang terjadi Amina tetaplah
anaknya, ia tak ingin menyalahkan siapapun.
“Ibu tidak berhak
menghukummu nak, hanya Gusti Allah yang berhak atas semua itu, Ibu juga tidak
akan memarahimu, semua sudah terjadi diluar dugaan. Ibu hanya gagal mendidikmu
menjadi anak yang Ibu inginkan, Ibu yang salah” Benteng yang dipertahankan Bu
Zainab akhirnya pecah, tangisnyapun bertumpah ruah dihadapan Amina.
“Nggak Bu, nggak!
Ibu nggak salah apapun” Amina menimpali
“Ibu ingin
melupakan semua yang Mina ceritakan barusan, Ibu ingin kamu kembali ke Amina
yang dulu, tidak ada kata terlambat untuk bertobat, Gusti Allah akan mengampuni
segala yang diperbuat hamba-Nya dengan syarat benar-benar bertaubat. Jadi
tolong nak, jangan pernah mengubah Aminaku yang dulu, Ibu rindu Amina yang
dulu, Ibu sayang Amina. Hanya kamu satu-satunya harta berharga yang Ibu miliki
saat ini nak.” Ucap Bu Zainab terbata, dan tanpa diperintah Amina langsung
berhambur ke dalam pelukannya. Pelukan hangat, pelukan yang selama ini Amina
butuhkan, pelukan dari seorang Ibu. Amina tak ingin melepas pelukan itu, meski
ia tau air matanya telah membanjiri pundak Ibunya.
“Maafkan Amina Bu,
Amina janji tidak akan melanggar semua nasihat Ibu, dan... terimakasih sudah
menjadi Ibu yang baik, menyayangi Amina dalam keadaan apapun.” Amina bergumam
dalam hati, ia memejamkan mata di balik pundak Ibunya. Kehangatan itu semakin
membuncah ia rasakan, ia sadar bahwa kasih
Ibu takkan hilang dalam keadaan
apapun dan tetap bermuara pada kehidupan anaknya.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar