TAKDIR
CINTA
Oleh:
Sumiyatun
Acara tasyakuran tahunan yang diadakan di halaman
Pondok Pesantren Syaichona Moch. Cholil Bangkalan Madura malam itu tampak
sangat meriah. Semua santri baik dari putri maupun putra bersatu pada malam
itu, hanya di batasi oleh satir tipis yang dijadikan media saling intip oleh
santri-santri yang masih baru dan masih tidak faham akan peraturan pondok.
Semua yang hadir terhanyut oleh lantunan nasyid annabawiyah lantany. Tak
ketinggalan Syauqi, salah satu santri putra di pesantren itu tampak bersahaja
dengan setelan baju takwa putih juga berbaur bersama dengan santri-santri
lainnya, wajahnya terlihat semakin menawan dengan sorotan lampu latar. Bibirnya
tiada henti bersholawat seiring lagu, sementara penglihatannya mulai menyapa
seluruh halaman pesantren, tiba-tiba tanpa ia sadari matanya menemukan sesosok
bidadari di penghujung tatapannya. Bidadari itu terlihat khusuk melantutkan
nyanyian nasyid, begitu sempurna ciptaan Allah.
Sebelum acara selesai, Syauqi sempat dikenalkan oleh
Ali dengan dara jelita itu, wajahnya yang cantik dibalut jilbab pink dan
sepasang mata bak permata yang tidak pernah di temui oleh penyelam di
sepanjang samudera membuatnya tersihir oleh rasa pesona “Syivaul
Qulub” selaras dengan namanya yang memiiki arti “Pengobat Hati”, begitu iya
menyebutkan nama. Syauqi tidak dapat berkata, ia mencoba menahan gemuruh lubuk
hati yang kian membahana dan mulai meneruskan perkenalan “Syauqi Ramadhan”.
Syiva hanya menundukkan kepala, cahaya aura
Syauqi telah memenjarakan hatinya. Tanpa sadar ada getaran yang menyala di
sudut hatinya. Walau pada pandangan pertama, kedua, detak hati insan ini tak
bisa berdusta, bara asmara telah menyala dan berkobar menerangi istana atas
nama cinta. Tak ada kata terucap, hanya isyarat kerlingan mata yang
syahdu memenuhi waktu mereka, sampai acara selesai.
***
Layaknya
sebuah letera yang menerangi gulitanya kebodohan, seperti eloknya cahaya sang
candra yang menghiasi senyapnya malam. Seperti itulah ibarat keeksistensian
juga urgensi sebuah ilmu disebuah pesantren jika kita analogikan. Sudah menjadi
kebiasaan bagi penduduk pesantren dengan aktivitas-aktivitas religi yang tekuninya
setiap hari, seperti burdah, dibaiyah, sekolah, jam belajar, ngaji kitab,
musyawarah, dan hal-hal lain yang dapat menjaga ketenangan hati. Malam itu para
santri tampak serempak melakukan aktivitasnya belajar bersama di mushalla
pesantren. Di pojok mushalla, tampak beberapa orang santri yang sedang asik
dengan obrolannya, kitab kuning yang di depan mereka sengaja dibuka untuk
mengibuli keamanan yang beroperasi untuk mengontrol para santri yang belajar.
Meski kitab-kitab mereka buka, namun matanya sama sekali tak tertuju pada kitab
tersebut. Mereka malah asik ngobrol dengan teman-teman didekatnya, hanya satu
santri yang terlihat diam, wajahnya tampak buram tak seperti biasanya,
sepertinya sosok itu sedang memikirkan sesuatu.
“SYAUQI...”
Hasim menepuk pundak Sauqi.
“OHH????..”
Syauqi terperanjat kaget dengan tepukan
tangan Hasim.
“dari
tadi aku lihatin kamu bengong terus, ada masalah?”
“sedikit”
jawab Syauqi singkat, matanya kembali menerawang pada atap mushalla, pikirannya
mulai berkeliaran entah kemana. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya,
bayangan gadis berkerudung hitam yang ia temui di depan ndalem Kiyainya
tiba-tiba kembali menari-nari di pelupuk
matanya.
“mikirin
SYIVA?” ujar Ali memperjelas nama Syiva,
membuyarkan lamunan Syauqi. Masih tetap diam.
“entahlah
Li, gadis itu benar-benar membuatku gila” gumam Syauqi lirih.
“ingat
Syauqi, dia sudah milik orang, tidak seharusnya kamu memelihara perasaan itu,
seandainya dia ngg...... “
“sudah
Li, jangan menambah masalah dalam pikiranku” potong Syauqi seraya beranjak dari
duduknya. Tangannya menjinjing kitab yang ia bawa untuk belajar, kemudian
langsung berlalu menuju asramanya.
***
Seulas senyum senja, membentang memenuhi hamparan
cakrawala, dercak-dercak jingganya menebar merata menghiasi angkasa raya. Salah
satu lukisan ilahi yang mempesona. Syauqi yang sudah dua tahun nyantri di Kota
Bangkalan tersenyum penuh suka cita, hatinya riang gembira, tak henti-hentinya
iya memandang kertas di tangannya, tiada yang membuatnya lebih bahagia daripada
hari ini. Surat yang sengaja ia kirimkan untuk Syiva lewat santri putri yang ia
temui di toko kitab ternyata mendapat balasan yang memuaskan dari Syiva.
“Terimakasih cinta.....” gumamnya sambil mendekap erat
surat di tangannya.
“surat dari siapa Qi?” tegor Ali yang tiba-tiba
berdiri di depan pintu asrama. Kedatagan Ali yang tiba-tiba membuat Syauqi
kaget.
“ha??? Ini... surat... ini... dari.. Syiva” jawab
Syauqi terbata.
“Syiva?? Sejak kapan?” tanya Ali.
Syauqi tetap bergeming, ia tak ingin menjawab pertanyaan Ali, ia tidak
ingin orang-orang di pesantren tahu tentang hubungannya dengan Syiva.
“Syauqi..” nada suara Ali terdengar mendesak
“aku nggak tahu Li, sejak kapan aku berhubungan dengan
dia, yang jelas sejak kamu kenalkan aku dengan dia di malam itu, aku sudah
mencintainya. Tolong Ali jangan rusak kebahagiaanku” jawab Syauqi menatap lekat
wajah Ali.
“itu yang aku sesali, menyesal telah mengenalkanmu
dengan Syiva. Ingat Syauqi.. kamu temanku dan Dayat tunangan Syiva juga
temanku”
“terus aku harus bagaimana? Aku benar-benar
mencintainya, tak ada yang bisa mencegah perasaanku terhadapnya. Seandainya
kamu ada diposisiku, apa yang akan kamu perbuat? Akankah kamu mengorbankan
perasaanmu sendiri?”
“Astaghfirullah Syauqi... istighfarr... kata-katamu
yang seperti ini sudah menandakan kalau kamu menduakan cintanya Allah, cinta
yang hakiki dunia akhirat, sadar Syauqi ini pesantren, bukan saatnya untuk
bermain-main, bukan saatnya untuk mencari kesenangan. Di sini kita numpang,
kita hanya sebagai tamu ditempat ini, dan juga tidak seharusnya kamu menjadikan
pesantren ini sebagai tempat pacaran”
“alah Li,, itu cuma akal-akalanmu saja biar aku
menjauhi Syiva. Aku mencintai Syiva Li, kamu atau siapapun tak berhak dan tidak
akan bisa mencegahnya” tandas Syauqi dengan nada yang sedikit ditekankan.
Setelah berdebat dengan Ali, Syauqi langsung mengambil kopyah putih yang
bergantung di jendela asrama kemudian tanpa sepatah katapun ia pergi
meninggalkan Ali.
“semoga Allah membuka hatimu teman..” gumam Ali
memandang sendu kepergian Syauqi. Ada segelumit penyesalan yang meruak dalam
benaknya. Menyesal karena ia sempat mengenalkan Syauqi dengan gadis yang
ternyata tunangan sahabatnya sendiri. Penyesalan karena dosa itu awalnya telah
dibuka olehnya.
***
Waktu tak pernah berhenti menelan
ruang kisah manusia. Syauqi dan Syiva, walaupun hanya merangkai bayangan
syahdu, mereka bahagia dan tidak lelah merajut siang dengan
syair-syair indah membingkai malam dengan lagu-lagu rindu. Namun hal itu tak
bertahan lama, takdir cinta tidak berpihak pada mereka. Di surut asrama
pesantren putri, salah satu asrama yang bernama Ar-Raudloh, tampak gadis cantik
nan jelita dengan kerudung hitam yang membukus kepalanya. Gadis itu merunduk
memandang sebuah undangan di tangannya, undangan itu lecek dan basah akibat
linangan air mata yang membanjiri pipinya sampai menetes pada wajah undangan
yang didesain warna pink. Seharusnya gadis itu bahagia dengan undangan itu,
undangan yang bertuliskan “SYIVAUL QULUB” dan “AKHMAD HIDAYAT”. Seharusnya ia
bahagia menghadapi hari-hari syakral yang akan membawanya pada sebuah cinta
yang halal. Namun wajah cantik Syiva tak menampakkan kebahagiaan itu,
sebaliknya wajah itu tampak sendu dan muram.
“sudahlah Va,, inilah takdirmu,
takdir Allah lebih baik daripada apa yang manusia rencanakan” ujar Aini yang
sedari tadi duduk disamping Syiva.
“tidak semudah itu Ni, terlalu indah
untuk dilupakan, aku mencintainya” jawab Syiva dalam isaknya. Tangannya memeras
undangan yang ia pegang.
“tapi masih ada laki-laki yang lebih
berhak buat kamu”
“aku tidak mencintai laki-laki itu
Aini. Aku tidak bisa menerima Daya” suara Syiva parau.
“sejak kapan kamu tidak
mencintainya? Sejak kapan kamu benar-benar tidak memiliki perasaan terhadap
Dayat? Bukankah dia dulu kamu bangga-banggakan?”
“entahlahh.....” jawab Syiva lirih.
“itulah akibatnya, siapa yang
bermain api akhirnya akan terbakar juga..... dari dulu aku sudah menasehati
kamu Va, jangan pernah bermain-main dengan cinta, apalagi ini pesantren, tempat
menimba ilmu, tempat dimana orang-orang mencari ridlo Allah, kamu tidak hanya
melanggar aturan pesantren tapi kamu juga melanggar aturan dari Allah bahwa
istilah pacaran itu tidak ada dalam islam. Sudahlah Va... tidak perlu kau
sesali apa yang terjadi, wajar jika kamu dan Syauqi pernah saling mencintai.
Tapi ingat itu hanya masalalu, sekarang kamu harus bisa menerima kenyataan.
Kamu harus bahagia, dua hari lagi kamu akan menjadi seorang istri” ujar Aini
panjang lebar. Meski dalam hati ia tidak ingin menambah beban pikiran sahabatnya,
namun ia harus bisa membuat sahabatnya itu sadar bahwa apa yang terjadi adalah
sekenario Allah, ia harus bisa meyakinkah Syiva untuk ikhlas menerima semuanya.
***
Di sepertiga malam, pesantren yang
tampak megah dari luar itu terlihat sepi. Hanya suara jangkrik dan gemuruh
angin malam yang saling bersahutan, seakan memberi tahu pada dunia bahwa begitu
besarnya Allah menciptakan bumi berserta isinya. Ditengah-tengah musahalla yang
terletak diantara asrama santri putra, sesosok santri tampak larut dalam
sujudnya, seakan dalam sujud itu ia telah menumpahkan semua masalah yang
dihadapinya. Lima menit telah berlalu, shalat sunnah malam telah Syauqi laksanakan,
ada perasaan tenang yang menggelayut dalam lubuk hatinya. Itulah yang ia ingin
rasakan sejak dulu, kehangatan malam dalam pelukan Tuhan, ketenangan jiwa dalam
rengkuhan Ilahi.
Semenjak hari itu, hari di mana
Syauqi mendengar hari pernikahan Syiva dengan Dayat, ia tak pernah lagi
mendengar kabar tentang Syiva. Namun dalam hati ia selalu berharap gadis itu
akan bahagia bersama laki-laki yang mendampinginya. Ia berterimakasih pada
Syiva, karena ia bisa mengenal cinta. Ia tak pernah menyesal pernah mencintai
Syiva, ia juga tak merasa sakit hati karena Syiva menikah dengan orang lain.
Tanpa Syiva ia tetap bisa merasakan cinta, cinta tak bayak orang merasakannya,
cinta yang membuatnya merasa dilindungi, cinta yang membuat hatinya merasakan
kebahagiaan yang begitu dahsyat, cinta yang membuatnya merasa sempurna. cinta
itu adalah CINTA kepada Allah, cinta kebenaran yang sejati. Syauqi tak
menyasali TAKDIR HIDUP-nya yang seperti ini, karena bagi dia mencintai ALLAH
adalah segalanya.
0 komentar:
Posting Komentar