Kamis, 02 Februari 2017
Kamis, 16 Juni 2016
Cerpen "Muara Kasih Ibu"
MUARA KASIH IBU
Oleh:Miya
Terik
matahari benar-benar membakar bumi Surabaya, panas yang menyelimuti kota,
debu-debu beterbangan akibat padatnya kendaraan yang berlalu lalang dan
menyebabkan polusi udara semakin meningkat.Wanita berkepala empat itu tampak
bersemangat mengayuh sepeda ontelnya, tak peduli keringat yang mulai membanjiri
seluruh tubuh, sesekali ia mengelap keringat dengan lengan bajunya yang lusuh,
tak sedikit pun ia terlihat lelah dan letih, bahkan senyum cerah menyungging di
wajahnya yang mulai dihiasi keriput-keriput tipis. Wanita itu bernama Bu Zainab
si pedagang sayur di pasar kedongdong. Ia sengaja pulang cepat dari pasar
karena tak sabar ingin menemui sang putri tercinta yang katanya baru pulang
dari tempat perantauan menimba ilmu. Masih ingat dengan jelas dalam pikirannya
betapa cantik anak semata wayangnya ketika berpamitan hendak merantau ke kota
sebrang untuk kuliah.
“Bu,
Mina pamit, dhungakno[1]
Mina biar sukses kuliahnya” ujar Amina dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu
mencium kedua tangan ibunya dengan lembut.
“Hati-hati
di sana ya nak, jaga diri baik-baik. Ingat pesan Ibu, jangan pernah sekali-kali
tinggalkan ibadah” hening sejenak.
“Dan.....
jangan pernah melepas hijab dikepalamu demi siapapun. Hanya itu pesan Ibu”
suara Ibu terdengar serak, sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak tumpah
dihadapan putri tercintanya.
***
Setelah
memarkir sepeda di pekarangan rumah, Bu Zinab segera berlari menuju halaman
depan dengan senyum lebar yang masih menghias di raut wajahnya, ia berharap
anaknya tak terlalu lama menunggu. Tiba-tiba matanya tertuju pada gadis dengan
bercelana jeans dan baju tanpa lengan
yang berdiri mematung di depan rumah dengan posisi memunggunginya, “siapa gadis
ini?” gumamnya. Punggung gadis itu tak asing baginya, bentuk tubunya meskipun
terlihat sedikit lebih tinggi benar-benar ia kenal. Gadis itu adalah Amina
putri tercintanya.
“Mina...”
panggilnya dengan yang suara nyaris tak terdengar, ada rasa sakit yang
mengganjal batinnya melihat Amina. Gadis itu menoleh dan kemudian tersenyum,
bergegas ia menghampiri Bu Zainab yang masih mematung dengan perasaan tak
karuan.
“Ibu..”
Amina mencium tangan Ibunya.
“Ibu
kenapa lama sekali? Bukankah Mina sudah bilang dari kemarin kalau hari ini mau
pulang? Mina kangen Ibu” ujar Amina seraya memeluk erat tubuh Ibunya yang tetap
berdiri tak bergerak sedikitpun.
“Kemana
kerudungmu nak?” Bu Zainab bertanya hati-hati, meskipun sebenarnya ia ingin
sekali memarahi Amina. Namun itu tak dilakukan karena ia tak ingin menyakiti
hati putrinya.
“Mina
lapar Bu, kangen masakan Ibu” gadis itu melepas pelukannya. Bu Zainab tau kalau
anaknya mencoba mengalihkan pembicaran, pertanyaan yang sedari tadi bergelayut
dipikirannya kini semakin membuncah dengan sikap Amina. Meski ragu-ragu Bu
Zainab tetap mengajak putrinya masuk ke dalam rumah.
“Yo’opo[2]
kuliahmu nduk[3]?”
tanya Bu Zainab seraya membantu Amina melipat baju yang baru saja dikeluarkan
dari koper.
“Baik”
jawab Amina pelan tanpa menoleh
“Kenapa
baju-bajunya banyak yang dibawa pulang nak? Apa ini liburan panjang? Kata
anaknya Bu Ningsih apa namanya itu? kalau setelah ulangan terus ada libur? Ibu
lupa namanya”
“Liburan
akhir semester” sela Amina dengan nada suara datar. Mendengar jawaban Amina, Bu
Zainab mengernyitkan dahi bingung. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anakku?
Adakah sesuatu yang ingin ia ceritakan padaku? Kenapa dia terlihat tidak suka
dengan pembahasan tentang kuliah? Tidak, bukan itu yang ingin aku pertanyakan,
ada hal lain yang sedari tadi menganggu pikiranku. Kemana hijab yang dulu menutup
kepalanya? Kemana pakaian yang dulu membalut seluruh tubuhnya?.
***
Pagi
itu embun tebal sekali, begitu cerianya membalut tubuh ilalang, tak peduli
kehadirannya menambah bekunya suasana, tak peduli keadaannya membekukan seluruh
isi bumi, angin berhembus semilir namun membawa perasaan dingin yang membuncah.
Sedikit demi sedikit mentari tampil dengan kilauan emasnya, merahkan langit dan
punggung gunung sampai rasa hangat menjalar ditubuh Bu Zainab. Hari ini ia
ingin memasak untuk Amina, ia sengaja meliburkan dirinya menjual sayur di
pasar, karena itu pagi-pagi sekali ia bergegas menuju toko untuk membeli beras.
“Bu
Jainab, hari ini ndak ke pasar?” tanya penjaga toko seraya menuangkan beras ke
dalam timbangan.
“Ndak
Bu, hari ini saya mau masak yang enak-enak buat Mina”
“Loalahhh..
iyo sih si Mina sudah pulang toh dari Jogja. wingi[4]
aku lihat di depan rumah Bu Jainab sambil bawa koper” Ibu penjaga toko itu
menimpali.
“Tapi
loh Bu Jainab, kemaren saya lihat Mina ndak pakai krudung ya, apa dia sudah
jadi anak gaul ya Bu Jainab?” dengan nada mendoknya Ibu itu berkata.
Bukan
sekedar kata-kata, ditelinga Bu Zainab perkataan itu terdengar seperti cacian. Memang
benar apa yang dikatakannya, semuanya tidak salah, bukankah pada kenyataannya
anakku memang bukan Amina yang ku kenal dulu? Dia, dia seakan menjadi orang
lain yang sedang menyakitiku.
“Bu
Jainab? Kenapa melamun? Ini berasnya, uangnya dibawa saja dulu kembaliannya
belum ada”
“Bu
Yes, Amina.... tentang kerudung, itu peraturan dari kampusnya” ujar Bu Zainab
terbata, ia tau itu jauh dari kenyataan, ia tau kalau itu bohong, namun ia juga
ingin melindungi anaknya.
***
“Sudah
kenyang nak?” Bu Zainab menghampiri anaknya yang saat itu sedang menulis
sesuatu, entah apa.
“Sudah
Bu, terima kasih, masakan Ibu tidak berubah” Amina menjawab seraya menutup
bukunya. Bu Zainab meraih tangan Aminah dan menatap lekat ke arah gadis itu.
“Sekarang...
anak Ibu sudah besar, sudah cantik pula, sudah kuliah...” ucap Bu Zainab
sungguh-sungguh.
Hening...
“Mina,
jangan khawatir Ibu masih sanggup membiayai kamu, jika perlu Ibu akan menjual
warisan ayahmu asal Ibu bisa melihat kamu sukses. Ibu akan lakukan apapun itu.”
Bu Zainab berusaha menata tiap ucapan yang keluar dari mulutnya, ia benar-benar
tidak ingin menyinggung perasaan anak semata wayangnya.
“Tapi
nak...”
“Ibu
ndak mau Mina berubah, Ibu... Ibu ingin melihat Amina yang dulu, Ibu ingin Mina
ndak melupakan nasihat Ibu. Ibu..... “ Suara Bu Zainab terdengar terdengar
parau, matanya berkaca-kaca.
“Maafkan
Amina Bu..”
“Mina
tetap Mina yang dulu, tidak ada sedikit pun yang berubah, tetap Amina yang
sayang sama Ibu”
“Ibu
ingin Mina memakai kembali hijab Itu” Sela Bu Zainab seraya menundukkan kepala.
“Mina...
Mina tidak pantas memakainya Bu, Mina nggak...... “ Suara Amina mulai serak, ia
tak kuasa menahan bendungan air mata yang sebenarnya ingin ia tumpahkan sejak
pertama kali kakinya menyentuh tanah kelahirannya. Apa yang selama ini
dipendamnya kini ia ceritakan, ia buka semua yang ia alami di hadapan Ibu
tercintanya, meski sakit dan ingin melupakan semuanya ia tak ingin
menyembunyikan apapun dari sosok yang telah melahirkannya itu.
“Maafkan
Mina yang tidak bisa menjaga diri, Ibu berhak marah dan menghukum Amina”
Suaranya nyaris tak terdengar bersamaan dengan isak tangis yang menderu. Bu
Zainab terlihah lunglai namun ia berusaha tetap tegar, apapun yang terjadi
Amina tetaplah anaknya, ia tak ingin menyalahkan siapapun.
“Ibu
tidak berhak menghukummu nak, hanya Gusti Allah yang berhak atas semua itu, Ibu
juga tidak akan memarahimu, semua sudah terjadi diluar dugaan. Ibu hanya gagal
mendidikmu menjadi anak yang Ibu inginkan, Ibu yang salah” Benteng yang
dipertahankan Bu Zainab akhirnya pecah, tangisnyapun bertumpah ruah dihadapan
Amina.
“Nggak
Bu, nggak! Ibu nggak salah apapun” Amina menimpali
“Ibu
ingin melupakan semua yang Mina ceritakan barusan, Ibu ingin kamu kembali ke
Amina yang dulu, tidak ada kata terlambat untuk bertobat, Gusti Allah akan
mengampuni segala yang diperbuat hamba-Nya dengan syarat benar-benar bertaubat.
Jadi tolong nak, jangan pernah mengubah Aminaku yang dulu, Ibu rindu Amina yang
dulu, Ibu sayang Amina. Hanya kamu satu-satunya harta berharga yang Ibu miliki
saat ini nak.” Ucap Bu Zainab terbata, dan tanpa diperintah Amina langsung
berhambur ke dalam pelukannya. Pelukan hangat, pelukan yang selama ini Amina
butuhkan, pelukan dari seorang Ibu. Amina tak ingin melepas pelukan itu, meski
ia tau air matanya telah membanjiri pundak Ibunya.
“Maafkan
Amina Bu, Amina janji tidak akan melanggar semua nasihat Ibu, dan...
terimakasih sudah menjadi Ibu yang baik, menyayangi Amina dalam keadaan
apapun.” Amina bergumam dalam hati, ia memejamkan mata di balik pundak Ibunya.
Kehangatan itu semakin membuncah ia rasakan, ia sadar bahwa kasih Ibu takkan hilang
dalam keadaan apapun dan tetap bermuara pada kehidupan anaknya.
SELESAI
Selasa, 29 Desember 2015
Cerpen "Aku Memang Pelacur"
AKU
MEMANG PELACUR
Oleh: Miya
Jarum jam menunjuk angka 02.15 dini hari,
dingin sudah mulai membelai kulit dan meminta perhatian agar aku segera tidur. Aku
sudah memuaskan birahi Pak Narto, lelaki gendut kepala botak. Dia berjalan
terhuyung-huyung pulang ke rumahnya. Badannya bau sekali, mungkin dia hanya
mandi pada bulan Suro saja, nafasnya ngosngosan seperti dikejar maling. Kalau saja
dia tidak membayar selembar ratusan ribu untuk "short attack", aku
tidak akan sudi melayaninya.
***
Banyak nama, banyak julukan, banyak
vonis, aku tahu itu. Tidak akan diriku berubah marah, pun saat tidak hanya
terlintas dalam kepala, tapi turun pula melewati mulut yang terbuka, menjadi
kata-kata yang bisa jelas kudengar. Aku tidak pernah marah dengan apa yang
mereka lontarkan padaku, “DASAR PELACUR” begitulah mereka memakiku ketika
secara dengan sengaja aku sedang duduk manis di mobil suami mereka, dan aku
hanya tersenyum mendengarnya. Ya, aku memang pelacur, itulah pada kenyataannya.
Aku tidak pernah menutup-nutupi siapa dan seperti apa jati diriku. Aku berusaha
menjadi kawan yang baik untuk semua klienku, aku sering mendengar mereka
bercerita tentang keluh-kesah dan mimpi-mimpi. Juga untuk gosip-gosip politik.
Aku juga bisa menjadi lawan bicara untuk berdiskusi bila mereka mau.
***
Malam semakin larut, suara jangkrik
mulai memecah keheningan malam. Angin sepoi menambah bekunya tubuhku yang hanya
dengan balutan tanktop dan rok jins mini, tubuh yang sering mereka bilang seksi
saat mereka mencoba merayuku. Malam ini aku dengan sengaja menemani
segerombolan anak muda di cafe Taria tempat aku nongkrong. Mereka sesekali
terbahak sambil memandang manis ke wajahku. Disela-sela tawanya tiba-tiba satu diantara
mereka menyeletukkan sebuah pertanyaan.
”Menurutmu, untuk apa kita bernegara?”
tanyanya kepadaku.
”Hm, gak tahu ya,” aku menjawab
singkat.
”yah, begitulah, rakyat zaman
sekarang, tidak mau ambil pusing tentang nasib negara ini, walau mereka banyak
dipusingkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Kondisi ini
tidak bisa dibiarkan, kita harus bergerak. Revolusi!” berapi-api ia mengatakan
itu di depanku dan di depan kawan-kawannya. Aku hanya diam saja, menuang bir ke
gelas-gelas yang kosong. Aku memang suka mendengarkan orang berbicara tentang
negara, meskipun aku tidak terlalu faham, namun aku bisa menyimpulkan dari
sekian banyak pembicaraan orang bahwa negara tidak adil terhadap rakyat.
”Pendidikan politik bagi masyarakat
harus terus dilakukan.” Satu yang lain dari mereka menyahut.
“Ya, itu memang benar, kita harus menceburkan
diri hidup bersama rakyat, membangun kesadaran kolektif, membangun organisasi
massa yang sadar politik. Rakyat harus bisa memiliki kekuatan yang terorganisir
agar bisa menyuarakan dan mendesakkan kepentingannya, apalagi dipemilihan pemilu
nanti, kita harus benar-benar memilih pemimpin yang bisa membawa negara
indonesia ini lebih baik”
“Betul sekali, kita sebagai rakyat
jangan pernah tertipu dengan politik negara, seharusnya bukan negara yaang
mengatur kita, tapi kitalah sebagai generasi muda yang harus bisa mengatur
negara” Celetuk yang lainnya.
Tidak paham. Tapi senang. Itulah
yang membuat diriku bertahan berkumpul menemani dan melayani mereka. Semangat
anak-anak muda yang membuatku kagum. Bila saja semua anak muda di negeri
ini seperti itu? Tapi ya, bukan nongkrong di sini, menghabiskan malam ditemani
bir dan pelacur seperti diriku. Semangat untuk bekerja yang lebih baik.
“Coba kita pikirkan dalam-dalam, kita
berada di sini, di wilayah yang tidak pernah diakui dan selalu dihujat, tapi
setiap hari ratusan atau bahkan ribuan orang datang. Inilah wajah kemunafikan
kita. Adanya perempuan-perempuan di sini, menunjukkan negara telah gagal
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Coba tanya Mbak Lestari ini, apa Mbak
senang menjalani kehidupan seperti ini? Pasti Mbak terpaksa,” anak muda yang
pertama bertanya lagi dan memandang lekat mataku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Karena
melihatku sepertinya tidak akan menjawab ia kembali berceloteh.
“Jadi teringat puisi Rendra. Bersatulah
pelacur-pelacur Kota Jakarta,” seseorang menyela. Lalu ia berdiri dan
bergaya.
Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Aku tersenyum-senyum sendiri. Walau
gak paham apa yang dikatakan, tapi gayanya sangat lucu sekali. Semua kemudian
tertawa terbahak.
***
Aku Memang Pelacur. Masih tinggal di
tempat yang sama. Bekas lokalisasi yang sudah ditutup, tapi sekarang masih saja
beroperasi. Sudah lebih dari 10 tahun aku di sini. Tidak akan dan bisa
kemana-mana. Tidak ada sanak-saudara. Bapak-ibu pun tak punya. Tapi bukan
berarti aku tidak pernah menjadi orang baik, memiliki sebuah keluar kecil aku
pernah, bahagia ditengah-tengah keluarga aku juga pernah.
Dulu aku pernah menikah dengan
seseorang yang begitu aku cintai, keluargaku adalah satu-satunya yang paling
berharga buatku, ditambah dengan kehadiran putri cantik setelah dua tahun aku
menikah. Namun petaka itu datang, malam itu saat aku pulang kerja, saat itu aku
bekerja pada seorang pemilik toko terkenal di kota surabaya, aku menjadi
karyawan ditempat itu. Karena seharian begitu banyak pelanggan aku cukup merasa
lelah, jalanku sempoyongan, tiba-tiba dari arah utara datanglah segerombolan
preman menghampiriku, tampaknya mereka mabuk karena mulut mereka menyergak bau
alkohol. Pada akhirnya entah apa yang terjadi, aku tak ingin mengingatnya,
namun yang tak bisa aku lupakan seumur hidup bahwa mereka orang-orang yang
berlalu lalang di tempat itu hanya menonton saat aku diperkosa oleh mereka.
Itulah awalmula dari perjalananku menjadi pelacur. Sejak saat itu aku merasa
hina, aku tidak lagi kembali pada keluarga kecilku. Aku meninggalkan keluarga
dan tempat kelahiranku, dan ditempat ini aku memulai semuanya. Aku tak pernah
lagi bertemu suami dan anakku.