Jumat, 16 Januari 2015


“TULISAN TERAKHIR ANNISA
Oleh: Sumiyatun
Laki-laki paruh baya itu memandang kabur rintikan hujan yang belum juga reda. Rambutnya tampak memutih meski umurya masih kepala tiga. Pikirannya tak bisa nalar dengan jernih, kejadian demi kejadian yang pernah ia alami mulai menari-nari bak lenong dalam keramaian. Masa lalu yang ingin ia pendam mulai bergelayut dalam otaknya. Seandainya ia bisa memutar waktu yang telah berlalu, mungkin ia masih bisa mendengar tawa itu, suara manja itu dan masih melihat kertas-kertas putih dengan tulisan tinta hitam yang berserakan di rumahnya. Namun itu bukanlah kisah dalam cerita fiksi yang alurnya bisa dirubah-rubah, semua tak akan terulang. tawa itu tak akan terdengar lagi, kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tinta hitam tak akan berserakan di ruang tamu. sesosok putri yang paling ia cintai telah pergi, pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Laki-laki itu untuk kesekian kalinya menyeka air mata yang tak henti-henti mengalir di pipinya yang tirus. Pikirannya mengulang kembali kejadian tiga tahun silam, kejadian yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.
***

Terik matahari menyinari persada bumi Surabaya siang itu. Panas yang menyelimuti kota, debu-debu yang beterbangan akibat padatnya kendaraan yang berlalu-lalang dan menyebabkan polusi udara meningkat. Kendaraan beroda empat penuh berisi kayu-kayu bermuka keras menderu diatas jalan yang juga dipenuhi kendaraan lainnya. Keringat bercucuran diatas tubuh orang-orang yang sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Terlihat dua anak perempuan memakai seragam putih abu-abu yang menaiki sepeda ontel sendiri-sendiri. Kedua anak tersebut sesekali menyeka keringat yang mengucur di dahinya. Kerudung putih yang mereka kenakan tampak lusuh akibat asap kendaraan yang semakin pekat. Sambil mengayuh sepeda salah satu dari mereka membuka percakapan.
Nis, nggak terasa ya akhirnya Ujian Nasional selesai juga hari ini.” Ujar Nelly penuh semangat karena ujian yang menurutnya menjadi momok telah berakhir.
“iya Nell, akhirnya kita bisa bernafas lega” Annisa tak kalah senangnya.
Oh ya, kamu mau kuliah dimana Nis?” tanya Nelly sambil sibuk melihat kekanan dan kekiri jalan. Annisa langsung terkesiap mendengar pertanyaan Nelly. Raut wajahnya seketika berubah muram, pertanyaan yang benar-benar tak ingin didengarnya.
“Entahlah, aku juga bingung.” Annisa menjawab dengan singkat.
“udah mau lulus kok masih bingung Nis, kenapa nggak kuliah sama aku aja? Kita bareng-bareng ambil jurusan sastra. Bukannya dari SMP kita udah bareng?”
Annisa tetap diam tak bergeming mendengar celotehan Nelly. Terbesit rasa iri dalam hatinya, kenapa dirinya tidak segampang Nelly untuk menentukan pilihan? Kenapa semua perjalanan hidupnya penuh dengan peraturan?. Melihat Annisa seperti itu Nelly merasa tak enak hati, ia diam dan mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi. Setiap ditanyakan soal kuliah Annisa tak pernah terlihat senang seperti teman-teman lainnya. Ada rasa penasaran dalam hati Nelly, ada apakah dengan sahabatnya?.  Tak ingin melihat Annisa sedih Nelly pun mengajak Annisa pulang ke rumah.

*****
Di depan rumah yang cukup mewah, dengan mobil alpard merah yang ada didepannya. Annisa menaruh sepeda ontelnya, tepat disamping mobil tersebut. Ayah yang sedari tadi duduk di sebuah sofa berwarna putih dengan bunga mawar merah di atas meja sofa tersebut, rupanya telah menunggu kedatangan anak tunggalnya pulang dari sekolah.
Nisa.” Ayah memanggil Annisa yang sedang berjalan menuju kamarnya.
“Iya ayah, ada apa?”
“duduk sini ayah mau bicara” tangan ayah menepuk-nepuk sofa menyuruh Annisa duduk disampingnya.
“bagaimana ujiannya?” Tanya ayah lembut tapi tegas.
“Alhamdulillah yah lancar” Annisa menjawab sambil tersenyum.
emm.. baiklah Annisa ayah langsung akan berbicara pada pokok permasalahan saja” nada suara ayah terdengar serius.
DEGG .. Annisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia sudah tau apa yang akan dibicarakan ayahnya, dan ia tak ingin mendengarnya.
Hari ini, Ujian mu sudah selesai. Setelah pengumuman kelulusan nanti, kamu akan melanjutkan kuliahmu di Malang, dan tentunya fakultas Ekonomi. Ayah ingin kamu menjadi pengusaha yang sukses dan memegang perusahaan ayah, karena hanya kamulah satu-satunya putri ayah yang bisa dibanggakan. Minggu depan Ibu dan ayah akan mengantarmu kesana.” tanpa basa-basi ayah berbicara pada Annisa.
Hening, tak ada sepatah katapun dari mulut Annisa untuk menanggapi kata-kata ayahnya. Pikirannya mulai kacau. Hening….
“Annisa”………
“Annisa… kamu dengar apa yang ayah bicarakan barusan?”
“Iii..iya ayah, Nisa dengar, terserah ayah saja. Nisa akan selalu mengikuti kemauan ayah dan ibu.” Annisa menjawab parau.
“kamu memang anak ayah yang paling baik” ucap sang ayah seraya memeluk tubuh mungil Annisa.
Ada kehangatan dalam pelukan itu. Annisa tersenyum dan membalas pelukan sang ayah.
“maafkan Nisa ayah” lirih Annisa berkata dalam hati. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.
Annisa merupakan anak tunggal dikeluarganya. Sejak kecil Nisa senang sekali menulis. Ia selalu mendapat juara saat mengikuti lomba menulis meskipun tanpa sepengetahuan orang tuanya. Namun waktu itu, ayah tahu kalau Annisa sering mengikuti lomba menulis, ayah yang tidak suka seketika langsung merobek semua karya tulis yang dibuat Annisa. Ayah tidak ingin setelah lulus SMA, Annisa menjadi seorang penulis, ayah ingin Annisa menjadi seorang pengusaha yang meneruskan perusahaannya sendiri. Sejak saat itu, Annisa menulis diam-diam karena takut dimarahi ayahnya. Karya yang ia tulis tidak lagi dipublikasikan di facebook maupun blognya.  Setiap malam iya selalu menangis. Bingung dengan keputusan ayahnya, jika tidak menjadi pengusaha, ayah akan sangat marah dan kecewa, ia juga takut penyakit ayahnya kambuh. Tapi, jika keinginannya untuk jadi penulis tidak terpenuhi ia akan menyesal seumur hidup. Bagi Annisa menulis adalah hidupnya, dengan menulis ia bisa mengeluarkan semua inspirasi yang ia punya.
*****
Pagi itu, embun tebal sekali. Sinar matahari tampak sedikit menyusup dicelah-celah jendela rumah besar Annisa. Ayah dan ibu telah duduk siap diruang makan, menunggu putri mereka yang dari tadi tidak kelihatan batang hidungnya.
“Bu, Nisa kok belum keluar kamar? Hari ini kan pengumuman kelulusan, nanti dia bisa telat kalau jam segini belum bangun.” sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ayah bertanya kepada ibu.
“Mungkin dia lagi mandi yah, sebentar ibu panggil.” Ibu pun bergegas menuju kamar Annisa.
Tok,, tok,, tok,,
Tok,, tok,, tok,,
Satu dua kali ibu Annisa mengetok pintu namun tak ada sahutan. Kamar Annisa terdengar begitu senyap dan tenang.
Nisa, bangun sayang, sudah hampir jam 7. Hari ini kamu harus ke sekolah, ada pengumuman hasil Ujian kan.” Ibu terus memanggil, namun tetap tak ada jawaban Tak terdengar suara sedikitpun dari kamar Annisa. Perlahan, sang ibu membuka pintu kamar putri kesayangannya itu. Ketika ibu masuk, tak sadar ibu menginjak darah didekat pintu. Ibu semakin takut dan merasa khawatir, ibu pun meneruskan langkahnya perlahan-lahan mengikuti arah darah yang baru saja diinjaknya. Setelah beberapa langkah………………… ibu terdiam sejenak, kemudian berteriak. AYAHHH!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Ayah bergegas menuju kamar Annisa, “Ada apa bu?” Ibu hanya menangis ketika melihat Annisa yang terbaring kaku dengan tangannya yang dipenuhi darah akibat irisan pisau. Ayahnya yang tampak shock tak bisa lagi membendung air matanya. Ia  pun menangis sambil memeluk jasad Annisa yang sudah tak bernyawa. Diatas meja belajar, ibu menemukan surat yang ditulis oleh Annisa.
Pasung surut. . . . Itulah kehidupan… Ada pro dan ada kontra….
           Ada saatnya kita merasa sedih, dan ada pula saatnya kita merasa senang….
Dan inilah kehidupan Annisa, ayah dan ibu sangat menginginkan Nisa menjadi seorang pengusaha…. Tapi Nisa ingin menjadi seorang penulis, bukan pengusaha. bukankan ibu tau Nisa mengidolakan sesosok CHAIRIL ANWAR? Bukankah ibu yang dulu mengenalkan Nisa pada karya-karya beliau? Sehingga Nisa terinspirasi untuk menjadi penulis. Tapi kenapa ibu diam saja saat ayah memaksa Nisa untuk menjadi seorang pengusaha?....
Bergelut di dunia perkantoran??? Bukankah besar kemungkinan Nisa harus menanggalkan hijab Nisa? Nisa tak sanggup jika harus seperti itu.
Ayah, ibu, kesedihan yang berlarut-larut tidak bisa Nisa tahan terus-menerus….
Nisa juga tidak sanggup jika harus memenuhi permintaan ayah…. maafin Nisa, Nisa bukan anak yang berbakti untuk ayah dan ibu… Mungkin, inilah jalan terbaik untuk Nisa….
Dan ini juga merupakan
TULISAN TERAKHIR” Annisa, ayah tidak perlu marah lagi, nggak akan  ada lagi kertas-kertas dengan tinta hitam diatasnya yang tercecer dirumah, Nisa pergi untuk selamanya,, selamat tinggal ayah, ibu.. Nisa sayang kalian..

cerpen


TAKDIR CINTA
Oleh: Sumiyatun

Acara tasyakuran tahunan yang diadakan di halaman Pondok Pesantren Syaichona Moch. Cholil Bangkalan Madura malam itu tampak sangat meriah. Semua santri baik dari putri maupun putra bersatu pada malam itu, hanya di batasi oleh satir tipis yang dijadikan media saling intip oleh santri-santri yang masih baru dan masih tidak faham akan peraturan pondok. Semua yang hadir terhanyut oleh lantunan nasyid annabawiyah lantany. Tak ketinggalan Syauqi, salah satu santri putra di pesantren itu tampak bersahaja dengan setelan baju takwa putih juga berbaur bersama dengan santri-santri lainnya, wajahnya terlihat semakin menawan dengan sorotan lampu latar. Bibirnya tiada henti bersholawat seiring lagu, sementara penglihatannya mulai menyapa seluruh halaman pesantren, tiba-tiba tanpa ia sadari matanya menemukan sesosok bidadari di penghujung tatapannya. Bidadari itu terlihat khusuk melantutkan nyanyian nasyid, begitu sempurna ciptaan Allah.
Sebelum acara selesai, Syauqi sempat dikenalkan oleh Ali dengan dara jelita itu, wajahnya yang cantik dibalut jilbab pink dan sepasang mata bak permata yang tidak pernah di temui oleh penyelam di sepanjang   samudera membuatnya tersihir oleh rasa pesona “Syivaul Qulub” selaras dengan namanya yang memiiki arti “Pengobat Hati”, begitu iya menyebutkan nama. Syauqi tidak dapat berkata, ia mencoba menahan gemuruh lubuk hati yang kian membahana dan mulai meneruskan perkenalan “Syauqi Ramadhan”.
Syiva hanya menundukkan  kepala, cahaya aura Syauqi telah memenjarakan hatinya. Tanpa sadar ada getaran yang menyala di sudut hatinya. Walau pada pandangan pertama, kedua, detak hati insan ini tak bisa berdusta, bara asmara telah menyala dan berkobar menerangi istana atas nama cinta.  Tak ada kata terucap, hanya isyarat kerlingan mata yang syahdu memenuhi waktu mereka, sampai acara selesai.
***
Layaknya sebuah letera yang menerangi gulitanya kebodohan, seperti eloknya cahaya sang candra yang menghiasi senyapnya malam. Seperti itulah ibarat keeksistensian juga urgensi sebuah ilmu disebuah pesantren jika kita analogikan. Sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk pesantren dengan aktivitas-aktivitas religi yang tekuninya setiap hari, seperti burdah, dibaiyah, sekolah, jam belajar, ngaji kitab, musyawarah, dan hal-hal lain yang dapat menjaga ketenangan hati. Malam itu para santri tampak serempak melakukan aktivitasnya belajar bersama di mushalla pesantren. Di pojok mushalla, tampak beberapa orang santri yang sedang asik dengan obrolannya, kitab kuning yang di depan mereka sengaja dibuka untuk mengibuli keamanan yang beroperasi untuk mengontrol para santri yang belajar. Meski kitab-kitab mereka buka, namun matanya sama sekali tak tertuju pada kitab tersebut. Mereka malah asik ngobrol dengan teman-teman didekatnya, hanya satu santri yang terlihat diam, wajahnya tampak buram tak seperti biasanya, sepertinya sosok itu sedang memikirkan sesuatu.

“SYAUQI...” Hasim menepuk pundak Sauqi.
“OHH????..” Syauqi  terperanjat kaget dengan tepukan tangan Hasim.
“dari tadi aku lihatin kamu bengong terus, ada masalah?”
“sedikit” jawab Syauqi singkat, matanya kembali menerawang pada atap mushalla, pikirannya mulai berkeliaran entah kemana. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya, bayangan gadis berkerudung hitam yang ia temui di depan ndalem Kiyainya tiba-tiba  kembali menari-nari di pelupuk matanya.
“mikirin SYIVA?”  ujar Ali memperjelas nama Syiva, membuyarkan lamunan Syauqi. Masih tetap diam.
“entahlah Li, gadis itu benar-benar membuatku gila” gumam Syauqi lirih.
“ingat Syauqi, dia sudah milik orang, tidak seharusnya kamu memelihara perasaan itu, seandainya dia ngg...... “
“sudah Li, jangan menambah masalah dalam pikiranku” potong Syauqi seraya beranjak dari duduknya. Tangannya menjinjing kitab yang ia bawa untuk belajar, kemudian langsung berlalu menuju asramanya.
***
Seulas senyum senja, membentang memenuhi hamparan cakrawala, dercak-dercak jingganya menebar merata menghiasi angkasa raya. Salah satu lukisan ilahi yang mempesona. Syauqi yang sudah dua tahun nyantri di Kota Bangkalan tersenyum penuh suka cita, hatinya riang gembira, tak henti-hentinya iya memandang kertas di tangannya, tiada yang membuatnya lebih bahagia daripada hari ini. Surat yang sengaja ia kirimkan untuk Syiva lewat santri putri yang ia temui di toko kitab ternyata mendapat balasan yang memuaskan dari Syiva.
“Terimakasih cinta.....” gumamnya sambil mendekap erat surat di tangannya.
“surat dari siapa Qi?” tegor Ali yang tiba-tiba berdiri di depan pintu asrama. Kedatagan Ali yang tiba-tiba membuat Syauqi kaget.
“ha??? Ini... surat... ini... dari.. Syiva” jawab Syauqi terbata.
“Syiva?? Sejak kapan?” tanya Ali.
Syauqi tetap bergeming, ia tak ingin menjawab pertanyaan Ali, ia tidak ingin orang-orang di pesantren tahu tentang hubungannya dengan Syiva.
“Syauqi..” nada suara Ali terdengar mendesak
“aku nggak tahu Li, sejak kapan aku berhubungan dengan dia, yang jelas sejak kamu kenalkan aku dengan dia di malam itu, aku sudah mencintainya. Tolong Ali jangan rusak kebahagiaanku” jawab Syauqi menatap lekat wajah Ali.
“itu yang aku sesali, menyesal telah mengenalkanmu dengan Syiva. Ingat Syauqi.. kamu temanku dan Dayat tunangan Syiva juga temanku”
“terus aku harus bagaimana? Aku benar-benar mencintainya, tak ada yang bisa mencegah perasaanku terhadapnya. Seandainya kamu ada diposisiku, apa yang akan kamu perbuat? Akankah kamu mengorbankan perasaanmu sendiri?”
“Astaghfirullah Syauqi... istighfarr... kata-katamu yang seperti ini sudah menandakan kalau kamu menduakan cintanya Allah, cinta yang hakiki dunia akhirat, sadar Syauqi ini pesantren, bukan saatnya untuk bermain-main, bukan saatnya untuk mencari kesenangan. Di sini kita numpang, kita hanya sebagai tamu ditempat ini, dan juga tidak seharusnya kamu menjadikan pesantren ini sebagai tempat pacaran”
“alah Li,, itu cuma akal-akalanmu saja biar aku menjauhi Syiva. Aku mencintai Syiva Li, kamu atau siapapun tak berhak dan tidak akan bisa mencegahnya” tandas Syauqi dengan nada yang sedikit ditekankan. Setelah berdebat dengan Ali, Syauqi langsung mengambil kopyah putih yang bergantung di jendela asrama kemudian tanpa sepatah katapun ia pergi meninggalkan Ali.
“semoga Allah membuka hatimu teman..” gumam Ali memandang sendu kepergian Syauqi. Ada segelumit penyesalan yang meruak dalam benaknya. Menyesal karena ia sempat mengenalkan Syauqi dengan gadis yang ternyata tunangan sahabatnya sendiri. Penyesalan karena dosa itu awalnya telah dibuka olehnya.
***
Waktu tak pernah berhenti menelan ruang kisah manusia. Syauqi dan Syiva, walaupun hanya merangkai bayangan syahdu, mereka  bahagia  dan tidak lelah merajut siang dengan syair-syair indah membingkai malam dengan lagu-lagu rindu. Namun hal itu tak bertahan lama, takdir cinta tidak berpihak pada mereka. Di surut asrama pesantren putri, salah satu asrama yang bernama Ar-Raudloh, tampak gadis cantik nan jelita dengan kerudung hitam yang membukus kepalanya. Gadis itu merunduk memandang sebuah undangan di tangannya, undangan itu lecek dan basah akibat linangan air mata yang membanjiri pipinya sampai menetes pada wajah undangan yang didesain warna pink. Seharusnya gadis itu bahagia dengan undangan itu, undangan yang bertuliskan “SYIVAUL QULUB” dan “AKHMAD HIDAYAT”. Seharusnya ia bahagia menghadapi hari-hari syakral yang akan membawanya pada sebuah cinta yang halal. Namun wajah cantik Syiva tak menampakkan kebahagiaan itu, sebaliknya wajah itu tampak sendu dan muram.
“sudahlah Va,, inilah takdirmu, takdir Allah lebih baik daripada apa yang manusia rencanakan” ujar Aini yang sedari tadi duduk disamping Syiva.
“tidak semudah itu Ni, terlalu indah untuk dilupakan, aku mencintainya” jawab Syiva dalam isaknya. Tangannya memeras undangan yang ia pegang.
“tapi masih ada laki-laki yang lebih berhak buat kamu”
“aku tidak mencintai laki-laki itu Aini. Aku tidak bisa menerima Daya” suara Syiva parau.
“sejak kapan kamu tidak mencintainya? Sejak kapan kamu benar-benar tidak memiliki perasaan terhadap Dayat? Bukankah dia dulu kamu bangga-banggakan?”
“entahlahh.....” jawab Syiva lirih.
“itulah akibatnya, siapa yang bermain api akhirnya akan terbakar juga..... dari dulu aku sudah menasehati kamu Va, jangan pernah bermain-main dengan cinta, apalagi ini pesantren, tempat menimba ilmu, tempat dimana orang-orang mencari ridlo Allah, kamu tidak hanya melanggar aturan pesantren tapi kamu juga melanggar aturan dari Allah bahwa istilah pacaran itu tidak ada dalam islam. Sudahlah Va... tidak perlu kau sesali apa yang terjadi, wajar jika kamu dan Syauqi pernah saling mencintai. Tapi ingat itu hanya masalalu, sekarang kamu harus bisa menerima kenyataan. Kamu harus bahagia, dua hari lagi kamu akan menjadi seorang istri” ujar Aini panjang lebar. Meski dalam hati ia tidak ingin menambah beban pikiran sahabatnya, namun ia harus bisa membuat sahabatnya itu sadar bahwa apa yang terjadi adalah sekenario Allah, ia harus bisa meyakinkah Syiva untuk ikhlas menerima semuanya.
***
Di sepertiga malam, pesantren yang tampak megah dari luar itu terlihat sepi. Hanya suara jangkrik dan gemuruh angin malam yang saling bersahutan, seakan memberi tahu pada dunia bahwa begitu besarnya Allah menciptakan bumi berserta isinya. Ditengah-tengah musahalla yang terletak diantara asrama santri putra, sesosok santri tampak larut dalam sujudnya, seakan dalam sujud itu ia telah menumpahkan semua masalah yang dihadapinya. Lima menit telah berlalu, shalat sunnah malam telah Syauqi laksanakan, ada perasaan tenang yang menggelayut dalam lubuk hatinya. Itulah yang ia ingin rasakan sejak dulu, kehangatan malam dalam pelukan Tuhan, ketenangan jiwa dalam rengkuhan Ilahi.
Semenjak hari itu, hari di mana Syauqi mendengar hari pernikahan Syiva dengan Dayat, ia tak pernah lagi mendengar kabar tentang Syiva. Namun dalam hati ia selalu berharap gadis itu akan bahagia bersama laki-laki yang mendampinginya. Ia berterimakasih pada Syiva, karena ia bisa mengenal cinta. Ia tak pernah menyesal pernah mencintai Syiva, ia juga tak merasa sakit hati karena Syiva menikah dengan orang lain. Tanpa Syiva ia tetap bisa merasakan cinta, cinta tak bayak orang merasakannya, cinta yang membuatnya merasa dilindungi, cinta yang membuat hatinya merasakan kebahagiaan yang begitu dahsyat, cinta yang membuatnya merasa sempurna. cinta itu adalah CINTA kepada Allah, cinta kebenaran yang sejati. Syauqi tak menyasali TAKDIR HIDUP-nya yang seperti ini, karena bagi dia mencintai ALLAH adalah segalanya.