AKU
MEMANG PELACUR
oleh: Sumiyatun
oleh: Sumiyatun
Jarum jam menunjuk angka 02.15 dini hari,
dingin sudah mulai membelai kulit dan meminta perhatian agar aku segera tidur. Aku
sudah memuaskan birahi Pak Narto, lelaki gendut kepala botak. Dia berjalan
terhuyung-huyung pulang ke rumahnya. Badannya bau sekali, mungkin dia hanya
mandi pada bulan Suro saja, nafasnya ngosngosan seperti dikejar maling. Kalau saja
dia tidak membayar selembar ratusan ribu untuk "short attack", aku
tidak akan sudi melayaninya.
***
Banyak nama, banyak julukan, banyak
vonis, aku tahu itu. Tidak akan diriku berubah marah, pun saat tidak hanya
terlintas dalam kepala, tapi turun pula melewati mulut yang terbuka, menjadi
kata-kata yang bisa jelas kudengar. Aku tidak pernah marah dengan apa yang
mereka lontarkan padaku, “DASAR PELACUR” begitulah mereka memakiku ketika
secara dengan sengaja aku sedang duduk manis di mobil suami mereka, dan aku
hanya tersenyum mendengarnya. Ya, aku memang pelacur, itulah pada kenyataannya.
Aku tidak pernah menutup-nutupi siapa dan seperti apa jati diriku. Aku berusaha
menjadi kawan yang baik untuk semua klienku, aku sering mendengar mereka
bercerita tentang keluh-kesah dan mimpi-mimpi. Juga untuk gosip-gosip politik.
Aku juga bisa menjadi lawan bicara untuk berdiskusi bila mereka mau.
***
Malam semakin larut, suara jangkrik
mulai memecah keheningan malam. Angin sepoi menambah bekunya tubuhku yang hanya
dengan balutan tanktop dan rok jins mini, tubuh yang sering mereka bilang seksi
saat mereka mencoba merayuku. Malam ini aku dengan sengaja menemani
segerombolan anak muda di cafe Taria tempat aku nongkrong. Mereka sesekali
terbahak sambil memandang manis ke wajahku. Disela-sela tawanya tiba-tiba satu diantara
mereka menyeletukkan sebuah pertanyaan.
”Menurutmu, untuk apa kita bernegara?”
tanyanya kepadaku.
”Hm, gak tahu ya,” aku menjawab
singkat.
”yah, begitulah, rakyat zaman
sekarang, tidak mau ambil pusing tentang nasib negara ini, walau mereka banyak
dipusingkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Kondisi ini
tidak bisa dibiarkan, kita harus bergerak. Revolusi!” berapi-api ia mengatakan
itu di depanku dan di depan kawan-kawannya. Aku hanya diam saja, menuang bir ke
gelas-gelas yang kosong. Aku memang suka mendengarkan orang berbicara tentang
negara, meskipun aku tidak terlalu faham, namun aku bisa menyimpulkan dari
sekian banyak pembicaraan orang bahwa negara tidak adil terhadap rakyat.
”Pendidikan politik bagi masyarakat
harus terus dilakukan.” Satu yang lain dari mereka menyahut.
“Ya, itu memang benar, kita harus menceburkan
diri hidup bersama rakyat, membangun kesadaran kolektif, membangun organisasi
massa yang sadar politik. Rakyat harus bisa memiliki kekuatan yang terorganisir
agar bisa menyuarakan dan mendesakkan kepentingannya, apalagi dipemilihan pemilu
nanti, kita harus benar-benar memilih pemimpin yang bisa membawa negara
indonesia ini lebih baik”
“Betul sekali, kita sebagai rakyat
jangan pernah tertipu dengan politik negara, seharusnya bukan negara yaang
mengatur kita, tapi kitalah sebagai generasi muda yang harus bisa mengatur
negara” Celetuk yang lainnya.
Tidak paham. Tapi senang. Itulah
yang membuat diriku bertahan berkumpul menemani dan melayani mereka. Semangat
anak-anak muda yang membuatku kagum. Bila saja semua anak muda di negeri
ini seperti itu? Tapi ya, bukan nongkrong di sini, menghabiskan malam ditemani
bir dan pelacur seperti diriku. Semangat untuk bekerja yang lebih baik.
“Coba kita pikirkan dalam-dalam, kita
berada di sini, di wilayah yang tidak pernah diakui dan selalu dihujat, tapi
setiap hari ratusan atau bahkan ribuan orang datang. Inilah wajah kemunafikan
kita. Adanya perempuan-perempuan di sini, menunjukkan negara telah gagal
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Coba tanya Mbak Lestari ini, apa Mbak
senang menjalani kehidupan seperti ini? Pasti Mbak terpaksa,” anak muda yang
pertama bertanya lagi dan memandang lekat mataku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Karena
melihatku sepertinya tidak akan menjawab ia kembali berceloteh.
“Jadi teringat puisi Rendra. Bersatulah
pelacur-pelacur Kota Jakarta,” seseorang menyela. Lalu ia berdiri dan
bergaya.
Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Aku tersenyum-senyum sendiri. Walau
gak paham apa yang dikatakan, tapi gayanya sangat lucu sekali. Semua kemudian
tertawa terbahak.
***
Aku Memang Pelacur. Masih tinggal di
tempat yang sama. Bekas lokalisasi yang sudah ditutup, tapi sekarang masih saja
beroperasi. Sudah lebih dari 10 tahun aku di sini. Tidak akan dan bisa
kemana-mana. Tidak ada sanak-saudara. Bapak-ibu pun tak punya. Tapi bukan
berarti aku tidak pernah menjadi orang baik, memiliki sebuah keluar kecil aku
pernah, bahagia ditengah-tengah keluarga aku juga pernah.
Dulu aku pernah menikah dengan
seseorang yang begitu aku cintai, keluargaku adalah satu-satunya yang paling
berharga buatku, ditambah dengan kehadiran putri cantik setelah dua tahun aku
menikah. Namun petaka itu datang, malam itu saat aku pulang kerja, saat itu aku
bekerja pada seorang pemilik toko terkenal di kota surabaya, aku menjadi
karyawan ditempat itu. Karena seharian begitu banyak pelanggan aku cukup merasa
lelah, jalanku sempoyongan, tiba-tiba dari arah utara datanglah segerombolan
preman menghampiriku, tampaknya mereka mabuk karena mulut mereka menyergak bau
alkohol. Pada akhirnya entah apa yang terjadi, aku tak ingin mengingatnya,
namun yang tak bisa aku lupakan seumur hidup bahwa mereka orang-orang yang
berlalu lalang di tempat itu hanya menonton saat aku diperkosa oleh mereka.
Itulah awalmula dari perjalananku menjadi pelacur. Sejak saat itu aku merasa
hina, aku tidak lagi kembali pada keluarga kecilku. Aku meninggalkan keluarga
dan tempat kelahiranku, dan ditempat ini aku memulai semuanya. Aku tak pernah
lagi bertemu suami dan anakku.