Kamis, 26 Juni 2014

Cerpen "AKU MEMANG PELACUR"

AKU MEMANG PELACUR
oleh: Sumiyatun
Jarum jam menunjuk angka 02.15 dini hari, dingin sudah mulai membelai kulit dan meminta perhatian agar aku segera tidur. Aku sudah memuaskan birahi Pak Narto, lelaki gendut kepala botak. Dia berjalan terhuyung-huyung pulang ke rumahnya. Badannya bau sekali, mungkin dia hanya mandi pada bulan Suro saja, nafasnya ngosngosan seperti dikejar maling. Kalau saja dia tidak membayar selembar ratusan ribu untuk "short attack", aku tidak akan sudi melayaninya.
***
Banyak nama, banyak julukan, banyak vonis, aku tahu itu. Tidak akan diriku berubah marah, pun saat tidak hanya terlintas dalam kepala, tapi turun pula melewati mulut yang terbuka, menjadi kata-kata yang bisa jelas kudengar. Aku tidak pernah marah dengan apa yang mereka lontarkan padaku, “DASAR PELACUR” begitulah mereka memakiku ketika secara dengan sengaja aku sedang duduk manis di mobil suami mereka, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. Ya, aku memang pelacur, itulah pada kenyataannya. Aku tidak pernah menutup-nutupi siapa dan seperti apa jati diriku. Aku berusaha menjadi kawan yang baik untuk semua klienku, aku sering mendengar mereka bercerita tentang keluh-kesah dan mimpi-mimpi. Juga untuk gosip-gosip politik. Aku juga bisa menjadi lawan bicara untuk berdiskusi bila mereka mau.
***
Malam semakin larut, suara jangkrik mulai memecah keheningan malam. Angin sepoi menambah bekunya tubuhku yang hanya dengan balutan tanktop dan rok jins mini, tubuh yang sering mereka bilang seksi saat mereka mencoba merayuku. Malam ini aku dengan sengaja menemani segerombolan anak muda di cafe Taria tempat aku nongkrong. Mereka sesekali terbahak sambil memandang manis ke wajahku. Disela-sela tawanya tiba-tiba satu diantara mereka menyeletukkan sebuah pertanyaan.
”Menurutmu, untuk apa kita bernegara?” tanyanya kepadaku.
”Hm, gak tahu ya,” aku menjawab singkat.
”yah, begitulah, rakyat zaman sekarang, tidak mau ambil pusing tentang nasib negara ini, walau mereka banyak dipusingkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, kita harus bergerak. Revolusi!” berapi-api ia mengatakan itu di depanku dan di depan kawan-kawannya. Aku hanya diam saja, menuang bir ke gelas-gelas yang kosong. Aku memang suka mendengarkan orang berbicara tentang negara, meskipun aku tidak terlalu faham, namun aku bisa menyimpulkan dari sekian banyak pembicaraan orang bahwa negara tidak adil terhadap rakyat.
”Pendidikan politik bagi masyarakat harus terus dilakukan.” Satu yang lain dari mereka menyahut.
 “Ya, itu memang benar, kita harus menceburkan diri hidup bersama rakyat, membangun kesadaran kolektif, membangun organisasi massa yang sadar politik. Rakyat harus bisa memiliki kekuatan yang terorganisir agar bisa menyuarakan dan mendesakkan kepentingannya, apalagi dipemilihan pemilu nanti, kita harus benar-benar memilih pemimpin yang bisa membawa negara indonesia ini lebih baik”
“Betul sekali, kita sebagai rakyat jangan pernah tertipu dengan politik negara, seharusnya bukan negara yaang mengatur kita, tapi kitalah sebagai generasi muda yang harus bisa mengatur negara” Celetuk yang lainnya.
Tidak paham. Tapi senang. Itulah yang membuat diriku bertahan berkumpul menemani dan melayani mereka. Semangat anak-anak muda yang membuatku kagum. Bila saja semua anak muda di negeri ini seperti itu? Tapi ya, bukan nongkrong di sini, menghabiskan malam ditemani bir dan pelacur seperti diriku. Semangat untuk bekerja yang lebih baik.
“Coba kita pikirkan dalam-dalam, kita berada di sini, di wilayah yang tidak pernah diakui dan selalu dihujat, tapi setiap hari ratusan atau bahkan ribuan orang datang. Inilah wajah kemunafikan kita. Adanya perempuan-perempuan di sini, menunjukkan negara telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Coba tanya Mbak Lestari ini, apa Mbak senang menjalani kehidupan seperti ini? Pasti Mbak terpaksa,” anak muda yang pertama bertanya lagi dan memandang lekat mataku. Aku  hanya tersenyum mendengarnya. Karena melihatku sepertinya tidak akan menjawab ia kembali berceloteh.
“Jadi teringat puisi Rendra. Bersatulah pelacur-pelacur Kota Jakarta,” seseorang menyela. Lalu ia berdiri dan bergaya.
Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Aku tersenyum-senyum sendiri. Walau gak paham apa yang dikatakan, tapi gayanya sangat lucu sekali. Semua kemudian tertawa terbahak.
***
Aku Memang Pelacur. Masih tinggal di tempat yang sama. Bekas lokalisasi yang sudah ditutup, tapi sekarang masih saja beroperasi. Sudah lebih dari 10 tahun aku di sini. Tidak akan dan bisa kemana-mana. Tidak ada sanak-saudara. Bapak-ibu pun tak punya. Tapi bukan berarti aku tidak pernah menjadi orang baik, memiliki sebuah keluar kecil aku pernah, bahagia ditengah-tengah keluarga aku juga pernah.

Dulu aku pernah menikah dengan seseorang yang begitu aku cintai, keluargaku adalah satu-satunya yang paling berharga buatku, ditambah dengan kehadiran putri cantik setelah dua tahun aku menikah. Namun petaka itu datang, malam itu saat aku pulang kerja, saat itu aku bekerja pada seorang pemilik toko terkenal di kota surabaya, aku menjadi karyawan ditempat itu. Karena seharian begitu banyak pelanggan aku cukup merasa lelah, jalanku sempoyongan, tiba-tiba dari arah utara datanglah segerombolan preman menghampiriku, tampaknya mereka mabuk karena mulut mereka menyergak bau alkohol. Pada akhirnya entah apa yang terjadi, aku tak ingin mengingatnya, namun yang tak bisa aku lupakan seumur hidup bahwa mereka orang-orang yang berlalu lalang di tempat itu hanya menonton saat aku diperkosa oleh mereka. Itulah awalmula dari perjalananku menjadi pelacur. Sejak saat itu aku merasa hina, aku tidak lagi kembali pada keluarga kecilku. Aku meninggalkan keluarga dan tempat kelahiranku, dan ditempat ini aku memulai semuanya. Aku tak pernah lagi bertemu suami dan anakku.

Senin, 02 Juni 2014

Cerpen (PENYESALAN DIBALIK SENJA)

PENYESALAN DIBALIK SENJA
oleh: Sumiyatun
Ditengah-tengah ribuan orang yang menatapnya penuh heran, perempuan itu berjalan lurus, tanpa alaskaki, dengan selembar kertas yang masih erat digenggam oleh tangan kanannya. Tak peduli miliaran pasang mata disekitarnya. Perempuan itu tampak berjalan sempoyongan, entah sejak kapan air mata mulai membanjiri pipi mulusnya. Dengan langkah pasti meski tanpa alas kaki perempuan muda itu menuju salah satu kontrakan yang terletak di Jl. Simpang Lima kota Semarang. Begitu sampai dimuka pintu kontrakan, dengan keras tangannya menggedor pintu.
Berkali-kali ia menggedor pintu kontrakan namun tak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa pintu akan dibuka. Dari luar kontrakan itu tampak sepi seakan tak berpenghuni, tapi perempuan itu tetap mengira bahwa orang yang dicarinya sedang ada di dalamnya. Ia tahu bahwa laki-laki itu sedang bersembunyi dan sengaja tidak mahu menemuinya. Dengan perasaan kecewa campur marah akhirnya perempuan cantik itu membalikkan badannya meninggalkan kontrakan.
“AMIRA” tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya. Perempuan yang ternyata bernama Amira itu menoleh mencari asal suara.
“Desta…..??!!” ujarnya kaget
“kamu ngapain disini?” Tanya desta tak menghiraukan keterkejutan Amira
“aku?... aku…. Aku….”
“Anton?”  Desta menebak
“Barusaja dia pergi dengan Dessi, katanya sih mahu cari kado buat ulang tahun Desi esok lusa”
“ulang tahun? Dessi?” Amira tampak gugup
“iya Dessi, tunangan Anton. Kamu belum tahu kalau Anton…………..”
Tak ingin mendengar apa yang akan diucapkan Desta, Amira buru-buru berpaling dan bergegas meninggalkannya. Ia tak ingin mendengar lebih banyak tentang hubungan anton dan wanita yang bernama Dessi itu, yang bergelayut dalam pikirannya saat ini hanyalah Anton, Dessi dan isi lembaran yang dipegangnya.
***
Pagi ini Amira buru-buru ke kampus, ia berharap bisa menemui orang yang ia cari dan menceritakan apa yang telah terjadi. Hanya dengan sedikit taburan bedak dan olesan lipstick tipis di bibirnya Amira tampak begitu anggun. Kulitnya yang mulus dan rambutnya yang lurus tebal serta penampilannya yang bersih membuat kecantikannya terlihat alami. Amira adalah salah satu mahasiswi aktif di kampusnya, sejak pertama masuk kampus ia tidak pernah dekat dengan satupun laki-laki, setiap didekati ia selalu mengelak, alasannya ia tidak mahu kuliahnya terganggu. Entah kenapa sejak kenal dengan laki-laki yang bernama Anton ia berubah drastis, ia mulai jarang menghadiri acara organisasi yang ia ikuti di kampus, prinsip yang dulu ia pegang mati-matian “tidak ingin pacaran” terbengkalai karena Anton, dan entah apa yang membuatnya begitu percaya bahwa Anton adalah laki-laki yang baik, meski pada kenyataannya Anton telah menghancurkan semua impiannya.
***
Di koridor kampus
“PLAAKK” dengan keras Amira melayangkan tangannya ke pipi Anton. Wajahnya memerah, amarahnya tak bisa ditahan lagi mendengar kata-kata Anton, karena bukan jawaban itu yang Amira inginkan.
“kamu pikir aku ini perempuan APA?” nada suara Amira mulai meninggi. Sakit, itulah yang ia rasakan saat ini. Air mata yang ia tahan agar tidak keluar akhirnya tumpah membanjiri pipinya.
“sudahlah Amira, tidak perlu pura-pura menangis, sayang air mata buayamu keluar sia-sia” ujar Antor
“jangan harap dengan kamu menangis seperti ini, aku bisa iba sama kamu. Airmatamu tak akan mengubah pikiranku untuk mengakui bahwa janin yang kamu kandung adalah darah dagingku. Selama ini kamu pikir aku tidak tahu? Siapa saja laki-laki yang kamu kencan.....”
“PLAAKK” untuk yang kedua kalinya tamparan Amira mendarat di pipi Anton.
“jaga mulutmu Anton, mana janjimu dulu akan menjagaku? Mana janjimu akan bertanggung jawab atas perbuatanmu? MANA? JAWAB Anton.. JAWAB” nada suara Amira terdengar getir. Kedua tangannya bertumpu pada dada Anton.
“persetan dengan janji” sergah Anton menyingkirkan kedua tangan Amira dari dadanya.
“janji? Hah.. kamu bilang janji? Kamu bodoh Amira, kamu bodoh. Percaya dengan janji laki-laki”
“kamu jahat Anton, harus berapa kali aku bilang bahwa ini adalah anakmu”
“itu bukan anakku!!!” teriak Anton
“ini anakmu, darah dagingmu” Amira tak mau kalah
“baiklah, jika kamu bersikeras bahwa itu anakku. Ayo sekarang kita ke dokter, gugurkan janin yang ada dalam kandunganmu itu”
“TIDAKK!!” bantah Amira keras
“tidak? Kamu bilang tidak? Lantas maumu apa?
“nikahi aku” jawab Amira dalam isaknya
“APA?? Menikahi kamu? Jangan mimpi Amira, jangan pernah bermimpi aku akan menikahi kamu, walau bagaimanapu aku nggak akan mengakui bahwa itu adalah darah dagingku” bentak Anton seraya menunjuk pada perut Amira.
 “lantas bagaimana denganku?? Bagaimana dengan kedua orangtuaku? Apa yang harus aku katakan pada mereka?”
“semuanya akan beres jika kamu mahu mengikuti ajakanku tadi” jawab Anton
“nggak Anton, nggak. Walau bagaimanapun aku nggak akan pernah membunuh anak ini” ujar Amira dengan suara hampir nyaris tak terdengar.
“oke, kalau kamu tetap bersikukuh tidak mahu, mulai sekarang jangan pernah temui aku lagi. Jangan pernah mengaku-ngaku kalau itu adalah anakku, sampai kapanpun aku nggak akan pernah mengakui, karena aku nggak akan pernah menikahimu” Tanpa rasa bersalah Anton pergi meninggalkan Amira yang masih berdiri mematung dalam isak tangisnya.
Amira benar-benar tak menyangka bahwa Anton laki-laki yang sangat ia cintai akan sejahat itu terhadapnya, semua pengorbanan yang ia berikan benar-benar tidak ada artinya. Pikirannya mulai kacau, banyak pertanyaan yang mulai bergelayut dalam benaknya. Apa yang akan ia katakan jika orang tuanya tahu? Apa yang akan ia perbuat?. Kedua lutut Amira tampak lemas seakan tak mampu menopang tubuh mungilnya. Kertas dari dokter yang berisi laporan positif kehamilannya jatuh ke tanah, bersamaan dengan itu tubuhnya ambruk.
***
Suasana kamar kontrakan yang berukuran 4x5 meter persegi itu tampak lengang, tidak seperti biasanya penghuni kontrakan mendengarkan music rock kesukaannya. Tapi saat ini ia tidak ingin melakukannya, pikirannya jauh menerawang di dalamnya kelam malam malam. Sejak kejadian di koridor kampus siang itu, Anton tak lagi melihat sosok Amira berkeliaran di kampus, biasanya cewek itu sering santai di depan kelas bersama teman-temannya. Namun sejak satu minggu terakhir ini Anton benar-benar kehilangan jejak Amira, tidak ada yang tahu keberadaan Amira meskipun teman-temannya. Entah kenapa dua hari setelah pertengkarannya dengan Amira ia selalu dihantui rasa bersalah meski ia telah mencoba mengelaknya. Terakhir orang yang ditanya Anton adalah teman sekamar Amira di kostnya, bahwa sudah satu minggu Amira pulang ke Solo (tempat kelahirannya).   
Entah malaikat apa yang  membukakan hati nurani Anton, malam itu juga ia bertekad untuk menemui Amira di rumahnya. Jam dinding besar yang terletak di muka bandara Internasional Achmad Yani kota Semarang menunjukkan angka 10.24. Setelah mengurus semua administrasi pesawat yang akan ditumpangi, Anton lepas landas pada jam 11.00 menuju bandara Adi Sumarmo kota Surakarta (Solo). Sesampainya ditempat tujuan tidak mudah bagi Anton untuk menemukan alamat rumah Amira yang terletak di tengah kota Solo. Malam yang semakin larut juga menjadi kendala untuk bertanya pada rumah-rumah penduduk Solo. Dari jauh Anton tersenyum mendapati pos hansip yang masih jaga, dan dari hansip tersebut ia akhirnya bisa sampai pada kediaman Amira.
Rumah bercat coklat cream terlihat megah dari luar, namun tampak begitu sepi. Dari luar rumah itu terlihat gelap, mungkin Amira dan keluarganya sudah tidur, pikir Anton. Ia berniat menemui Amira esok harinya. “mungkin ada penginapan yang masih buka” gumamnya seraya membalikkan badan, disaat itu juga tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Hal itu membuat anton terjungkir hampir jatuh ke belakang.
“cari siapa malam-malam begini nak?” orang itu bertanya yang umurnya kira-kira sudah 50-an.
“anu… saya.. saya cari Amira pak” jawab Anton terbata, ia masih sock karena kaget dengan adanya bapak tersebut.
“maaf mengagetkan ananda, saya tukang kebun di rumah ini, dan saat ini orang yang ananda cari sedang tidak di rumah.
“Amira? Dia kemana pak?”
Laki-laki yang mengaku tukang kebun di rumah Amira enggan menjawab pertanyaan Anton, ada raut gelisan yang terpampang di wajahnya.
“pak? Amira kemana?” Anton mengulang pertanyaannya.
“sekali lagi maaf, ananda ini siapa mencari non Amira?”
“saya temannya di kampus pak. Sudah 1 minggu lebih Amira tidak terlihat di kampus, makanya saya cari ke rumahnya” jelas Anton.
“non Amira… non Amira….” Laki-laki tua itu terbata, matanya mulai berkaca-kaca
“Amira kenapa pak?” Tanya Anton dengan perasan yang sangat tidak tenang.
“non Amira di rumah sakit, sudah lima hari dia di rumah sakit, kata nyonya non Amira koma”
Bagai disambar petir Anton mendengar jawaban tukang kebun, hatinya bergejolak, perasaannya benar-benar tidak tenang, ternyata selama ini ia dihantui rasa bersalah karena keadaan Amira yang tidak pernah ia duga.
***
Di alatar senja, cinta telah hadir membawa sejuta luka, cinta itu hadir saat semuanya telah musnah, musnah karena keegoisan yang berujungkan penyesalan. Senja tak lagi mengerti apa yang diinginkan hati. “menyesal” itulah yang dirasakan Anton saat ini, hatinya terasa sakit saat mengingat sosok Amira, tak dapat dipungkiri bahwa ia pernah mencintai wanita itu. Masih terlihat jelas dalam memori Anton, detik-detik Amira menghembuskan nafas terakhirnya, wajah Amira tampak begitu anggun dengan balutan kerudung putih di kepala. Anton tidak tahu sejak kapan Amira mengenakan jilbab, apakah sejak pulang ke rumah atau kapan ia tidak tahu, yang pasti saat itu Amira benar-benar terlihat cantik meski wajahnya terlihat pucat. Dan yang paling menyakitkan bagi Anton saat ini adalah bahwa pada kenyataannya kematian Amira disebabkan oleh dirinya, karena keegoisannya yang bersikukuh tak mahu mengakui kebenaran yang terjadi. Menurut dokter kematian Amira disebabkan karena pendarahan, begitu banyaknya darah yang keluar dari rahimnya karena percobaan aborsi yang dilakukan sendiri. Kenapa begitu angkuh dirinya? Kenapa begitu naïf untuk mengakui bahwa anak yang dikandung Amira adalah darah dagingnya? ?

Di hadapan pusara Amira, Anton bersimpuh, kedua tangannya erat memegang batu nisan, perlahan-lahan kepalanya merunduk sampai menyentuh tanah kuburan, tiba-tiba secara perlahan semuanya terasa gelap, gelap dan tak merasakan apa-apa. Darah mengalir deras dari pergelangan tangannya akibat irisan pisau yang ia iriskan tepat di urat nadinya.